Monday, August 25, 2014

Theo Rompas's invitation is awaiting your response

 
 
Theo Rompas would like to connect on LinkedIn. How would you like to respond?
Theo Rompas
Theo Rompas
Consultant of Head and Neck Surgery at Dian Harapan General Hospital
Confirm you know Theo
You are receiving Reminder emails for pending invitations. Unsubscribe
© 2014, LinkedIn Corporation. 2029 Stierlin Ct. Mountain View, CA 94043, USA

Thursday, August 21, 2014

I'd like to add you to my professional network on LinkedIn

 
Theo Rompas
Theo Rompas
Consultant of Head and Neck Surgery at Dian Harapan General Hospital
Jayapura Area, Papua, Indonesia
Hi Theo,
I'd like to add you to my professional network on LinkedIn.
- Theo
Confirm that you know Theo
You are receiving Invitation to Connect emails. Unsubscribe
This email was intended for Theo Blogger. Learn why we included this.
© 2014, LinkedIn Corporation. 2029 Stierlin Ct. Mountain View, CA 94043, USA

Thursday, August 14, 2014

KORELASI ANTARA EKSPRESI GALECTIN-3 SITOPLASMA DENGAN GRADE DAN METASTASE KARSINOMA SEL SKUAMOSA RONGGA MULUT

pastedGraphic.png

Oleh :
Dr. Theo A. Rompas, SpB






Pembimbing :
Prof. Dr. Sunarto Reksoprawiro, SpB(K)Onk(K)KL
dr. Tulus Panuwun MS, SpPA (K)


Training Bedah Kepala Leher
Divisi Bedah Kepala Leher Departemen Ilmu Bedah
FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo - Surabaya
2012

pastedGraphic_1.png


KATA PENGANTAR
Sebagai kalimat awal pada kata pengantar ini penulis ingin mengutip sebuah kalimat indah yang patut kita renungkan bersama yang berasal dari seorang ahli bedah berkebangsaan Prancis yang hidup pada tahun 1510-1590, yaitu Ambroise Pare, yang berbunyi sebagai berikut: “Je le pansay, Dieu le guarit”, saya membalut, Tuhan yang menyembuhkan.
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa, atas berkat dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ilmiah ini. Karya ilmiah ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan dalam mengikuti Program Training Bedah Kepala Leher di Divisi Kepala Leher Departemen/ SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSU Dr. Soetomo di Surabaya. Tulisan ilmiah ini dengan judul KORELASI ANTARA EKSPRESI GALECTIN-3 SITOPLASMA DENGAN GRADE DAN METASTASE KARSINOMA RONGGA MULUT, diharapkan menjadi sumbangan dalam dunia kedokteran, baik dari segi ilmiah maupun dalam meningkatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat.
Karya ilmiah ini terwujud berkat bantuan berbagai pihak, maka perkenankanlah penulis secara khusus dan tulus menyampaikan terima kasih kepada:
  1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya atas kesempatan yang diberikan kepada saya mengikuti program Training Bedah Kepala Leher.
  2. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya mengikuti program Training Bedah Kepala Leher.
  3. Prof. Dr. Sunarto Reksoprawiro, SpB(K)Onk(K)KL, selaku Ketua PEBKLI dan guru besar di Sub Divisi Kepala Leher yang telah memberi kesempatan kepada saya mengikuti Program Training Bedah Kepala Leher, serta membimbing dan mengarahkan selama masa training.
  4. Dr. Agung Prasmono, SpB, BTKV (K), MARS, selaku Kepala Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya sehingga dapat menimba ilmu di Bagian Ilmu Bedah.
  5. Dr. Sahudi, SpB (K) KL selaku Kepala Divisi Bedah Kepala Leher telah memberi kesempatan kepada kami mengikuti Program Training Bedah Kepala Leher, serta membimbing dan mengarahkan selama masa training.
  6. Tulus Panuwun, dr, MS, Sp PA (K), selaku pembimbing di bidang Patologi Anatomi yang telah meluangkan waktunya memberikan masukan serta perbaikan dalam penelitian ini.
  7. Atika Ssi, MKes selaku pembimbing statistik yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam membimbing dalam bidang statistik dan metodologi penelitian.
  8. Prof. Dr. Martatko Marmowinoto SpB(K)Onk(KL) yang membimbing dan memberi nasehat, mengarahkan selama training.
  9. Dr. Urip Murtedjo SpB(K)KL yang membimbing, memberikan motivasi dan nasehat selama training.
  10. Dr. Yoga Wijayahadi SpB(K)Tauma (K)KL yang penuh kesabaran membimbing dan memberikan motivasi selama training.
  11. Dr. Dwi Hari Susilo SpB(K)Onk (K)KL yang membimbing dan memberikan motivasi selama training.
  12. Dr. Maryono Dwi Wibowo SpB(K)KL yang membimbing dan memberikan motivasi selama training.
  13. Seluruh Senior, teman-teman trainee, staf administrasi  dan peserta PPDS Ilmu Bedah di lingkungan Laboratorium/SMF Ilmu Bedah dan Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSU dr. Soetomo Surabaya yang telah banyak membantu dan bekerja sama dengan baik selama masa training.
  14. Seluruh staf paramedik, staf administrasi di GBPT RSUD Dr. Soetomo yang senantiasa membantu penulis selama masa training.
  15. Semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini. 
  16. Terima kasih dan rasa hormat saya yang tak terhingga kepada kedua orang tua serta saudara-saudara saya, ibu mertua saya dan seluruh keluarga atas iringan doa dan kasih sayang selama masa training.
  17. Istriku tercinta, Hellen Rumambi dan anak-anakku tersayang Quincy Romano dan Noah Aaron, terima kasih untuk seluruh cinta, kasih sayang, pengorbanan dan doa yang diberikan selama training.
Akhirnya penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, sehingga kritik dan saran untuk penyempurnaanya sangat penulis harapkan. Besar harapan penulis, karya akhir ini dapat membantu para tenaga medis dalam merawat penderita. Penulis tak lupa menyampaikan mohon maaf sedalam-dalamnya atas kesalahan dan kekurangan selama masa pendidikan. Kiranya Kasih Tuhan menyertai kita semua.

Surabaya, Desember 2012


Penulis



































DAFTAR ISI


pastedGraphic_2.png





















































DAFTAR GAMBAR

pastedGraphic_3.png




















DAFTAR TABEL


pastedGraphic_4.png




DAFTAR LAMPIRAN

pastedGraphic_5.png






















KORELASI ANTARA EKSPRESI GALECTIN-3 SITOPLASMA DENGAN GRADE DAN METASTASE KARSINOMA SEL SKUAMOSA RONGGA MULUT
Theo Adolf Rompas* , Sunarto Reksoprawiro*, Tulus Panuwun**
ABSTRAK
Tujuan: Galectin-3 adalah suatu gugus protein yang berikatan dengan β-galactoside yang berperan dalam banyak fungsi biologis baik normal maupun patologis seperti regulasi proliferasi sel, angiogenesis, hambatan apoptosis dan adhesi sel. Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai prognostik ekspresi galectin-3 pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut.
Bahan dan Cara: Penderita yang masuk dalam penelitian ini adalah penderita karsinoma sel skuamosa rongga mulut yang menjalani pembedahan di Divisi Bedah Kepala Leher Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2010-2012. Ekspresi galectin-3 diperiksa dengan cara imunohistokimia dengan menggunakan antibodi monoklonal galectin-3 Ab-1 (Clone9C4), dalam satu seri pemeriksaan pada 30 spesimen karsinoma sel skuamosa rongga mulut di Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Airlangga/ RSU Dr Soetomo Surabaya.
Hasil: Dua puluh delapan (93,3%) dari 30 spesimen menunjukkan ekspresi galectin-3. Dengan uji statistik, peningkatan ekspresi galectin-3 ini tidak berhubungan dengan derajat histopatologi, besar tumor maupun status KGB.
Kesimpulan: Ekspresi galectin-3 pada tidak berkorelasi dengan grade dan metastase karsinoma sel skuamosa rongga mulut.
Kata kunci:  Ekspresi galectin-3, karsinoma sel skuamosa rongga mulut, derajat histopatologi, besar tumor, status KGB.

* Divisi Bedah Kepala Leher Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSU. Dr. Soetomo Surabaya
** Bagian Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSU. Dr. Soetomo Surabaya




BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah 
Karsinoma rongga mulut saat ini menempati urutan ke enam dari keseluruhan jenis keganasan yang ada (Jerjes et al., 2012). Karsinoma rongga mulut adalah kelompok keganasan yang masuk dalam kategori keganasan kepala leher (Wein et al., 2010). Topik diskusi karsinoma rongga mulut identik dengan pembicaraan tentang karsinoma sel skuamous pada rongga mulut (oral squamous cell carcinoma) oleh karena karsinoma tersebut mencakup 90%-95% dari keseluruhan jenis keganasan (Cohen et al, 2006; Abeloff, 2008; Wein et al, 2010). 
Rata-rata diseluruh dunia setiap hari ditemukan kurang lebih 640.000 kasus baru karsinoma rongga mulut, tetapi secara geografis terdapat perbedaan pada setiap daerah atau negara (Oral Cancer Foundation, 2012). Di Amerika Serikat, ACS (American Cancer Society) dan OCF (Oral Cancer Foudation) menyatakan selama tahun 2012 setiap hari ditemukan 100 kasus baru karsinoma rongga mulut dan faring, dan dalam setahun total akan berjumlah 40.250 kasus baru (OCF, 2012; ACS, 2012; SEER, 2012). Disamping itu diperkirakan total jumlah kematian sebanyak 7.850 kejadian dengan asumsi, dalam setiap jam akan ada satu pasien yang meninggal akibat keganasan rongga mulut (ACS, 2012). Jumlah ini menunjukan peningkatan dibanding tahun tahun sebelumnya, dimana selama tahun 2011 kasus baru berjumlah 37.000 (OCF, 2012) dan pada tahun 2002 berjumlah 20.300 (Shah dan Patel, 2003). Di negara barat dan Amerika Serikat, dari tahun 2005-2009 rata-rata kasus baru 10,8 per 100.000 populasi (ACS, 2012; SEER, 2012). 
Center for Disease Control and Prevention (CDC) menyampaikan sejak tahun 2004-2008 insiden berkurang 1.0% pada wanita, akan tetapi pada laki-laki dan kelompok tertentu seperti etnis kulit hitam dan kelompok sosial ekonomi rendah, angka kejadiannya cenderung meningkat (CDC, 2005; Abeloff, 2008; ACS, 2012). 
Secara epidemiologis jumlah insiden dan prevalen tiap negara berbeda, tapi faktor predisposisi utama tetap sama yaitu rokok/tembakau dan alkohol. Di Amerika Serikat terjadi hal sebaliknya, dimana peningkatan insiden karsinoma, kecuali di Amerika Serikat, dimana peningkatan insiden infeksi HPV-16 dihubungkan dengan peningkatan angka kejadian karsinoma rongga mulut. Di Asia bagian selatan dan India, mengunyah tembakau, betel quid dan areca-nut dianggap sebagai pencetus utama disamping merokok (Farah, 2012; SERR, 2012; ACS, 2012). Selain alkohol dan tembakau, paparan sinar matahari yang tinggi, terutama ultraviolet-B, menjadi penyebab utama karsinoma pada bibir, seperti yang banyak terjadi di Australia (Bittar et al., 2010; Manuaba, 2010). Faktor-faktor predisposisi diatas dan faktor predisposisi lain seperti infeksi virus EBV dan HPV-type16, faktor lingkungan dan iritasi kronis, pada umumnya bisa dicegah (preventable risk factor), kecuali kerentanan genetik (genetic susceptibility) (Wein et al., 2010; Saman, 2012). 
Terapi utama karsinoma rongga mulut mencakup pembedahan, sedangkan terapi lain merupakan terapi tambahan seperti radioterapi, kemoterapi, photodynamic therapy, imunoterapi dan targeted therapy (Jerjes et al., 2012; Szeimies et al., 2012; ACS, 2012). Karsinoma rongga mulut jika di terapi pada stadium dini, survival rate mencapai 80-90%, tapi pada umumnya pasien datang sudah pada stadium lanjut, kurang lebih 53,16% dari keseluruhan kasus (Bittar et al., 2010). Angka kematian pada stadium lanjut sangat tinggi, jumlah yang meninggal dalam 5 tahun pertama setelah didiagnosa sebesar 50%-61% atau relative 5-year survival rate 36,3% pada stadium III dan 23,3% pada stadium IV (Wein, 2010; Bittar et al.,2010; ACS, 2012). Keadaan ini terjadi di negara berkembang maupun di negara-negara maju (OCF, 2012). 
Sampai saat ini kemajuan teknologi dianggap  belum dapat memperbaiki prognosis karsinoma rongga mulut. Hal ini karenak adanya keterlambatan diagnosis baik karena keterlambatan pasien maupun dokter, juga akibat lemahnya faktor prognostik yang ada sekarang seperti sistem TNM dan grading histopatologi (Ganly et al., 2009; Mahdey et al., 2011; ACS, 2012). Faktor prognostik yang tepat tidak saja untuk memperkirakan survival rate, tapi lebih dari itu dapat merubah rencana terapi, seperti tindakan lebih agresif walaupun masih dalam stadium dini. 
Faktor prognostik selain sistem TNM dan grading histopatologi telah banyak dilaporkan antara lain faktor etnis, umur, jenis kelamin, gaya hidup, ada tidaknya protective factor, lokasi tumor, besar tumor, ketebalan tumor, batas reseksi bebas tumor baik secara histopatologis maupun secara imunohistokimia (molecular margin/gene signature), derajat diferensiasi, adanya invasi perineural atau pembuluh darah dan pemeriksaan biomarker baik jaringan ataupun serum (Bittar et al., 2010; Wein et al., 2010; Balan et al., 2010; Srivastava et al., 2011; Mahdey et al., 2011; Reis et al, 2011; Moraes et al., 2012). Salah satu biomarkers (molecular markes) yang mulai diteliti sekarang adalah galectin-3 atau disingkat Gal-3 yang dapat diperiksa secara lokal pada jaringan tumor maupun secara sistemik pada serum (Cooper dan Baronds, 1999; Mazurek et al., 2000; Tadbir et al., 2010; Balan et al., 2010; Cay, 2012; Lepur, 2012).
Galectin-3 adalah suatu gugus protein yang berikatan dengan glycan, dalam hal ini berupa β-galactoside (β-galactoside-binding protein) (Mazurek et al., 2000; Lepur, 2012). Secara spesifik galectin-3 terdiri dari 3 domains yaitu: terminal pendek NH2 tempat terjadinya fosforilasi serine; rangkaian protein berulang menyerupai kolagen alfa dan satu terminal COOH yang merupakan gugus protein yang memiliki affinitas dengan karbohidrat yang disebut dengan carbohydrate-binding domains atau carbohydrate-recognition domain (CRD). Substans yang berikatan dengan galectin-3  umumnya berupa ligand (Lepur, 2012). Ikatan ini mencetuskan banyak fungsi, antara lain membantu transformasi neoplastik, proses angiogenesis, perkembangan neoplasma melalui regulasi proliferasi sel, hambatan apoptosis dan meningkatkan adhesi sel (Cooper dan Barondes, 1999; Mazurek et al., 2000; Balan et al., 2010; Lepur, 2012). Secara umum ekspresi galectin-3 dihubungkan dengan invasi dan metastase tumor (Piantelli et al., 2002; Takenaka et al., 2005).
Berbagai laporan tentang galectin-3 sebagai biomarkers telah banyak dilaporkan, termasuk hubungannya dengan berbagai penyakit keganasan seperti keganasan pada ovarium, payudara, gaster, kolon, tiroid, esofagus, kandung kemih, prostat, paru-paru, pankreas, maupun pada jenis keganasan tertentu seperti pada glioma, meningioma, limfoma, melanoma dan karsinoma sel skuamous (Honjo et al., 2000; Abe dan Suzuki, 2007; Tsuboi et al., 2007; Balan et al., 2010). Pada umumnya penelitian-penelitian ini menyokong bahwa galectin-3 berperan dalam progresifitas dan agresifitas kanker melalui temuan tingginya konsentrasi galectin-3 dalam serum maupun jaringan tumor (Inohara et al.,1999; Choufani et al., 1999; Iurisci et al., 2000; Shibata et al.,2005; Davidson et al., 2006; Pietro et al., 2006; Vereecken et al., 2007; Miranda et al., 2009; Zhao et al., 2009; Zhao et al., 2010; Choi et al., 2010; Tadbir et al., 2010; Zhao et al., 2010). 
Dipihak lain, beberapa penelitian yang menemukan korelasi terbalik, dimana penurunan ekspresi galectin-3 diasosiasikan dengan potensi metastase, seperti pada karsinoma payudara, ovarium, uterus dan prostat (Honjo et al., 2000; Piantelli et al., 2002; Takenaka et al., 2004). Hasil penelitian galectin-3 pada karsinoma kolon bahkan mendapatkan dua hasil yang berbeda, sebagian menemukan peningkatan ekspresi, sebagian lagi menemukan terjadi penurunan ekspresi (Honjo et al., 2000). Eude-Le Parco dkk melalui percobaan pada tikus yang diinduksi mengalami kanker usus menyerupai karsinoma kolorektal pada manusia, menemukan bahwa, ada atau tidak ekspresi galectin-3 tidak mempengaruhi progresifitas maupun agresifitas pada proses keganasan yang diteliti (Eude-Le Parco et al., 2009).
Hasil penelitian yang bervariasi ini, dapat dimungkinkan karena ekspresi galectin-3 tergantung jenis organ atau jaringan dan sifat tumor (Takenaka et al., 2004). Selain itu adanya perbedaan pada cara pemeriksaan, alat dan teknik, maupun perbedaan lokasi galectin-3, yang terdeteksi, apakah dalam serum, inti sel maupun sitoplasma (Choufani et al., 1999; Iurisci et al., 2000; Shibata et al.,2005; Davidson et al., 2006; Zhao et al., 2009; Tadbir et al., 2010; Zhao et al., 2010; Balan et al., 2010; Cay, 2012). Dengan demikian, dalam melakukan penelitian tentang hubungan galectin-3 dengan suatu proses keganasan harus dilakukan dengan hati-hati, dimana perlu dipertimbangkan hal-hal yang dapat mempengaruhi ekspresi galectin-3. (Vereecken et al., 2007). 
Dalam penelitian ini akan dicari korelasi antara tingkat ekspresi galectin-3 dalam sitoplasma jaringan tumor dengan agresifitas karsinoma rongga mulut, dalam hal ini hubungannya dengan derajat histopatologi, besar tumor (T stage), nodal status dan metastase jauh, untuk menentukan apakah ekspresi galectin-3 sel tumor mempunyai nilai prognostik.
  1. Rumusan Masalah
Apakah ekspresi galectin-3 sitoplasma sel tumor berkorelasi dengan derajat histopatologis dan metastase karsinoma sel skuamosa rongga mulut.
  1. Tujuan penelitian
Mengetahui korelasi antara ekspressi galectin-3 sitoplasma sel tumor dengan derajat histopatologis dan metastase karsinoma sel skuamosa rongga mulut.
  1. Manfaat penelitian
Dengan mengetahui hubungan ekspressi galectin-3 sitoplasma sel tumor dengan derajat histopatologis dan metastase karsinoma sel skuamosa rongga mulut, maka dapat ditentukan apakah galectin-3 mempunyai nilai prognostik. Hal tersebut dapat menjadi acuan bagi klinisi dalam perencanaan terapi, terutama pada stadium dini atau pada kondisi belum tampaknya metastase baik regional maupun sistemik.

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Kanker adalah salah satu penyakit dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi, dimana diseluruh dunia ditemukan lebih dari 10 juta kasus baru setiap tahunnya, terdapat 20 juta pasien yang saat ini hidup dengan kanker dan 6 juta kematian setiap tahunnya adalah akibat kanker (Petersen, 2008). Diperkirakan 43% dari seluruh kematian akibat kanker, adalah kanker yang berhubungan dengan tembakau, alkohol, unhealthy diets, kurang aktifitas dan infeksi (Petersen, 2008). Tembakau dan alkohol secara sinergi menjadi penyebab utama kanker pada daerah kepala dan leher seperti pada rongga mulut, faring, laring dan esofagus (Petersen, 2008; Bolesina et al., 2012).
Proses keganasan pada daerah kepala leher mencakup karsinoma rongga mulut, faring, sinus paranasal, kelenjar liur, kelenjar tiroid, melanoma, sarkoma dan small cell neuroendocrine. Variasi karsinoma pada daerah kepala dan leher, selain berbeda lokasi, juga berbeda jenis histopatologi dan berbeda sifat biologinya (Cohen et al., 2006; Wein et al., 2010). Jenis histopatologi yang paling sering adalah karsinoma sel skuamosa, dengan lokasi anatomi utama pada rongga mulut (Oral Squamous Cell Carcinoma), dimana menempati lebih dari 90% dari seluruh jenis keganasan pada kepala leher (Cohen et al., 2006). 
  1. Epidemiologi
Karsinoma rongga mulut saat ini menempati urutan ke enam dari keseluruhan jenis kanker yang ada (Jerjes et al., 2012; Ogbureke dan Bingham, 2012). Rata-rata di seluruh dunia setiap tahun ditemukan kurang lebih 640.000 kasus baru dimana 2/3 dari jumlah tersebut terjadi di negara-negara berkembang (Ganly et al., 2009; Oral Cancer Foundation, 2012). Di Uni Eropa ditemukan 66.650 kasus baru tiap tahun (Ganly et al., 2009). Insiden di negara barat dan di Amerika Serikat dari tahun 2005-2009 berjumlah 10,8 per 100.000 populasi (ACS, 2012; SEER, 2012). Laporan dari Oral Cancer Foundation US yang di update tanggal 27 September 2012 menyatakan di Amerika Serikat setiap hari ditemukan 100 kasus baru keganasan rongga mulut dan faring dan diperkirakan akan berjumlah 40.250 kasus baru selama tahun 2012, dimana satu pasien akan meninggal tiap jamnya (Oral Cancer Foundation, 2012; ACS, 2012; SEER, 2012). Jumlah ini menunjukkan peningkatan dibanding tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2011 kasus baru berjumlah 37.000, sedangkan  pada tahun 2002 berjumlah 20.300 (Shah dan Patel, 2003; Oral Cancer Foundation, 2012; Abeloff, 2008; Wein et al, 2010). American Cancer Society dan Center for Disease Control and Prevention menyampaikan adanya penurunan insiden pada tahun 2004-2008 sebesar 1.0% pada kelompok wanita akan tetapi pada laki-laki dibawah 45 tahun, penduduk golongan kulit hitam dan pada golongan dengan sosial ekonomi lebih rendah cenderung terjadi peningkatan insiden (CDC, 2005; Abeloff, 2008; ACS, 2012). 
Negara yang melaporkan terjadi peningkatan insiden karsinoma rongga mulut antara lain Denmark, Prancis, German, Skotlandia, Eropa Timur dan Eropa bagian tengah, Australia, Jepang, New Zealand dan USA (Petersen, 2008). Peningkatan insiden kira-kira 4,4%, terutama pada kelompok umur lebih muda dan termasuk dalam golongan bukan pengguna tembakau maupun alkohol (non-smokers dan non-drinkers) dan diduga berhubungan dengan HPV-16 (D’souza et al., 2005; Cohen et al, 2006; ACS, 2012). 
Adanya perbedaan prevalensi karsinoma rongga mulut pada tiap negara atau daerah berhubungan dengan perbedaan geografis dan etnis, perbedaan budaya dan kebiasaan setempat, misalnya dalam hal konsumsi alkohol, tembakau. Demikan juga, perbedaan ini dipengaruhi adanya perbedaan kondisi lingkungan kerja seperti daerah industrial, jumlah polutan dan jumlah paparan sinar matahari. Perbedaan prevalensi ini juga dipengaruhi adanya kerentanan pada etnis tertentu. Dengan adanya perbedaan-perbedaan ini, terbentuk daerah dengan kategori daerah berprevalensi tinggi karsinoma rongga mulut (high risk areas/endemic areas) ataupun daerah dengan prevalensi rendah (low risk areas) (Cohen et al., 2006; Ganly et al., 2009; Feller dan Lemmer, 2012; Ogbureke dan Bingham, 2012;).
Prevalensi karsinoma rongga mulut di Bangladesh, India, Pakistan dan Srilangka merupakan daerah dengan prevalensi paling tinggi di dunia, 30% dari jumlah total diseluruh dunia, sedangkan di Inggris hanya 3% dan di Prancis sebesar 6% (Ganly et al., 2009). Pada daerah tertentu di Taiwan, juga ditemukan tingginya angka kejadian dan kematian karsinoma rongga mulut, yang dihubungkan dengan adanya polusi logam berat dalam tanah, seperti Cr, Ni, Cu dan Zn (Chiang et al., 2012). Di Israel adanya kerentanan etnis terhadap kejadian karsinoma rongga mulut, dapat dilihat tingginya kejadian pada kelompok Ashkenazi-Jews dari pada Sephardic-Jews, dimana pada kedua kelompok ini selain terdapat perbedaan geografisnya juga terdapat perbedaan secara genetik (genetic susceptibility) (Sidransky, 2008; Feller dan Lemmer, 2012). Daerah dengan sosioekonomi rendah, kebiasaan konsumsi alkohol maupun tembakau yang tinggi, gizi kurang, kebersihan dan layanan kesehatan yang rendah, juga merupakan tempat-tempat dengan prevalensi tinggi karsinoma rongga mulut (Cohen et al., 2006; Ganly et al., 2009; Ogbureke dan Bingham, 2012). 
  1. Faktor Resiko dan Etiologi
Faktor resiko atau faktor predisposisi utama karsinoma rongga mulut adalah rokok/tembakau dan alkohol. (Manuaba, 2010; Bittar et al., 2010; SEER, 2012; ACS, 2012). Di Australia lebih banyak ditemukan kanker pada bibir karena tingginya paparan sinar matahari (ultraviolet) (Manuaba, 2010; Bittar et al., 2010). Faktor faktor lain yang berhubungan dengan kejadian karsinoma rongga mulut, mencakup infeksi virus EBV dan HPV-type16, genetic susceptibility seperti pada Plummer-Vinson syndrome, gangguan nutrisi atau kurangnya faktor protektif. (Newkirk dan Holsinger, 2006; Radhakrishnan et al., 2012; Saman, 2012; Bittar et al., 2012; Feller dan Lemmer, 2012; Farah et al., 2012). Paparan bahan kimia/logam berat, iritasi mekanis yang lama seperti pada penggunaan gigi palsu yang tidak tepat atau gigi yang tajam dan pada beberapa penyakit kronis, seperti sifilis dan HIV dapat mencetuskan karsinoma rongga mulut (Wein et al.,2010; Manuaba, 2010; ACS, 2012; Chiang et al., 2012; Saman, 2012). 
Dari seluruh faktor resiko yang ada, tembakau (smoke/smokeless) dan alkohol diperkirakan berperan 75%-80% sebagai penyebab karsinoma rongga mulut (Uittamo, 2012). Data yang ada, menunjukkan bahwa lebih dari 90% pasien dengan kanker rongga mulut mempunyai hubungan dengan penggunaan tembakau (Ganly et al., 2009). Dibandingkan antara perokok (smoker) dan para pengguna tembakau tanpa merokok (smokeless tobacco users) ternyata kejadian karsinoma rongga mulut lebih tinggi pada perokok (Balfour et al., 2009).
Bahan karsinogen yang terdapat pada rokok sangat banyak, seperti acetaldehyde, nitrosamines dan berbagai radikal bebas. Nitrosamines terbukti ditemukan tinggi kandungannya pada saliva pengguna tembakau tanpa merokok (smokeless tobacco users). Nitrosamines merusak enzim-enzim yang bersifat antioksidan seperti katalase dan glutathione reductase (Ogbureke dan Bingham, 2012). Beberapa peneliti menyampaikan bahwa karsinogen utama yang terkandung dalam tembakau yaitu acetaldehyde, kadarnya sangat tinggi, dengan jumlah kurang lebih 1000 kali lebih banyak dari bahan karsinogen lain (Balfour et al., 2009; Uittamo, 2012). Walaupun demikian rokok bukan faktor etiologi tunggal, oleh karena dari seluruh perokok di seluruh dunia hanya sebagian kecil yang mengidap karsinoma rongga mulut (Ganly et al., 2009). 
Selain dalam tembakau, acetaldehyde juga berperan sebagai karsinogen utama dalam minuman beralkohol (Wang dan Inoue-Fruehauf, 2006; McCullough et al., 2012). Dengan demikian tembakau dan alkohol secara bersamaan meningkatkan kandungan acetaldehyde dalam saliva (sinergisme). Keadaan ini yang menyokong sinergisme tembakau dan alkohol sebagai pencetus karsinoma ronggga mulut. Konsumsi alkohol ringan sampai sedang beresiko 3-9 kali mendapatkan karsinoma rongga mulut, sedangkan peminum alkohol berat (heavy drinkers), faktor resikonya meningkat sampai 30 kali. Jika seseorang peminum berat (heavy drinkers) juga termasuk perokok berat (heavy smokers), maka faktor resiko ini akan meningkat  menjadi 100 kali dibanding bukan perokok dan bukan peminum (non-smokers and non-drinkers) (Ogbureke dan Bingham, 2012; Uittamo, 2012). Penelitian terakhir juga menunjukan bahwa penggunaan mouthwashes yang mengandung alkohol ternyata meningkatkan resiko karsinoma rongga mulut, dan lebih meningkat lagi resikonya jika disertai dengan merokok atau konsumsi alkohol (McCullough et al., 2012).
Beberapa minuman beralkohol dengan kandungan acetaldehyde tinggi, antara lain minuman Calvados di Prancis, port wines dan beberapa minuman keras lain yang terbuat dari buah-buahan tertentu di Eropa Timur. Minuman keras dengan kadar acetaldehyde rendah terdapat pada vodka dan beer (Uittamo, 2012). 
Acetaldehyde selain terdapat dalam tembakau dan alkohol, ternyata juga terbentuk dari hasil metabolisme etanol oleh enzim alcohol dehydrogenase (ADH). Secara normal acetaldehyde yang terbentuk oleh ADH akan di metabolisme lebih lanjut oleh enzim aldehyde dehydrogenase (ALDH) menjadi acetat yang tidak bersifat karsinogen. Aktifitas ADH dan ALDH ini terdapat pada seluruh sel, termasuk dalam mukosa rongga mulut. Defisiensi aktifitas ALDH pada etnis tertentu atau adanya polymorphisms pada gen ALDH, menunjukkan adanya peningkatkan konsentrasi acetaldehyde dalam darah maupun dalam saliva (Sidransky, 2008).
Metabolisme etanol selain terjadi dalam sel mukosa normal juga dimetabolisme oleh mikroba normal rongga mulut dengan aktifitas ALDH yang rendah, sehingga dengan metabolisme yang tidak lengkap, lebih banyak terbentuk acetaldehyde, dan menumpuk dalam rongga mulut dan saliva (McCullough et al., 2012; Uittamo, 2012). Selain itu beberapa penelitian menunjukan bahwa ternyata acetaldehyde juga diproduksi mikroba normal rongga mulut melalui metabolisme karbohidrat secara anaerob (McCullough et al., 2012). Jenis mikroba rongga mulut yang telah diidentifikasi berjumlah lebih dari 750 macam spesies, dimana 50% adalah jenis streptokokus yang berupa kuman gram positif. Jenis mikroba lain antaranya, kuman gram negatif, jamur dan virus. Dalam keadaan normal, mikroba rongga mulut akan melekat pada lapisan tipis glikoprotein yang terdapat pada permukaan gigi yang disebut pellicle dan membentuk biofilm. Pellicle diproduksi oleh kelenjar liur dan berfungsi melindungi gigi dari keasaman. Jika kebersihan rongga mulut jelek, biofilm akan menebal, membentuk plaque. Sumber energi mikroba rongga mulut adalah karbohidrat, dan hasil metabolisme akhir karbohidrat adalah acetyl coA, tapi dalam keadaan anaerob metabolisme akhir adalah acetyldehyde yang bersifat karsinogen (Uittamo, 2012). Dengan demikian, kebersihan rongga mulut yang buruk, penggunaan alkohol, penggunaan tembakau dan adanya polymorphisms (kerentanan genetik), secara bersamaan meningkatkan resiko karsinoma rongga mulut.
Konsentrasi acetyldehyde dalam rongga mulut dapat berkurang bermakna dengan penggunaan cairan kumur chlorhexidine, permen karet yang mengandung xylitol dan bahan makanan/ tablet suplemen yang mengandung asam amino semi-essential seperti L-Cysteine, yang banyak terdapat pada daging, yogurt, telur, susu dan brokoli  yang bersifat mencegah pertumbuhan tumor (protective effects) (Uittamo, 2012; Radhakrishnan et al., 2012).
Saat ini di Amerika Serikat terdapat paradigma baru penyebab karsinoma rongga mulut dan faring, yaitu infeksi HPV16, khususnya pada kelompok non-smoker non drinkers (D’souza et al., 2005; ACS, 2012). Dari keseluruhan penderita karsinoma rongga mulut ditemukan kurang lebih 90% terinfeksi HPV-16 (Bittar et al., 2010; Oral Cancer Foundation, 2012; Farah et al., 2012). HPV dideteksi melalui pemeriksaan jaringan tumor apakah ada atau tidak HPV-DNA (Cohen et al. 2006). HPV16 adalah virus yang sama, yang ditemukan pada 99,7% penderita karsinoma serviks (Ogbureke dan Bingham, 2012). Jika Epstein Barr virus (EBV) berhubungan dengan karsinoma nasofaring, HPV lebih banyak ditemukan pada karsinoma rongga mulut maupun faring, yaitu 87% pada karsinoma orofaring, 68% pada rongga mulut dan 24% pada laring (Newkirk dan Holsinger, 2006; Balfour et al., 2009). Diduga HPV menginduksi tumorigenesis melalui integrasi dengan gen secara acak dan meningkatkan fungsi proliferasi sel (upregulates), seperti onkogen HPV E6 dan E7 (Balfour et al., 2009). Selain itu integrasi HPV E6 juga menginaktifasi p53 yang berfungsi sebagai tumor supressor gen, menyebabkan gagalnya apoptosis (Cohen et al., 2006; Ogbureke dan Bingham, 2012).
  1. Faktor Proteksi
Dalam berkembangnya setiap keganasan termasuk keganasan rongga mulut, perlu dipertimbangkan ada tidaknya faktor proteksi/pelindung (protective effects/factors) (Bittar et al., 2010). Faktor protektif saat ini menjadi penting karena memberikan kontribusi besar dalam pencegahan terjadinya karsinoma rongga mulut (Feller dan Lemmer, 2012; Farah et al., 2012). Pada percobaan menggunakan tikus yang dilakukan implantasi sel kanker yang diberikan pectin yang dimodifikasi dari jeruk (modified citrus pectin), menunjukkan terjadi hambatan pertumbuhan tumor, hambatan angiogenesis dan hambatan metastase melalui hambatan pada fungsi galectin-3 (Nangia-Makker et.al., 2002). Kebiasaan etnis tertentu dengan diet ikan, nasi, sayur dan  buah yang segar, terutama yang mengandung karotene dan vitamin C dan E mempunyai efek proteksi pada keganasan rongga mulut (Bittar et al., 2010; Nepomuceno, 2011; Najaran dan Emami, 2011). Kebiasaan secara etnis ini sama sekali tidak berhubungan dengan faktor genetik (Petersen, 2008; Bittar et al., 2010). Faktor diet lain yang dilaporkan sebagai faktor protektif karsinoma rongga mulut adalah minuman kopi, makanan tinggi asam folat dan makanan yang mengandung L-Cysteine (Saman, 2012; Uittamo, 2012). Di negara barat kurangnya faktor protektif ini memberi kontribusi 30%, nomor dua setelah tembakau, sebagai faktor resiko timbulnya keganasan rongga mulut, sedangkan di negara-negara berkembang kontribusinya kira-kira 20% (Petersen, 2008). 
  1. Biologi Molekular
Dengan berbagai faktor resiko dan penyebab yang ada pada penderita karsinoma rongga mulut, proses awal yang terjadi adalah kerusakan gen yang terdapat pada rantai DNA (Manuaba, 2007). Empat kelompok gen utama yang bisa mengalami kerusakan adalah: proto-oncogens, tumor suppressor genes, gen yang mengatur apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan DNA (DNA repair) (Kumar et al., 2005). Kerusakan gen ini, apakah mutasi, delesi atau amplifikasi, akan menyebabkan gen tersebut mengkoding pembentukan protein abnormal yang merubah sifat atau bentuk sel tersebut (genetic level and phenotypic levels) menjadi sel neoplasma. Sifat neoplasma ditandai adanya pertumbuhan sel yang cepat, bersifat invasif dan bermetastase atau disebut tumor progression (Kumar et al., 2005; Manuaba, 2007). 
Perubahan genetik seperti mutasi, delesi atau amplifikasi yang terjadi sangat kompleks, bertahap dan tidak berdiri sendiri (Kumar et al., 2005). Secara umum tahapan yang terjadi sebagai berikut: non-lethal injury menyebabkan gagalnya repair DNA, gagalnya repair DNA mengakibatkan aktivasi proto-onkogen, inaktivasi tumor suppressor gene dan hambatan apoptosis. Keadaan ini termanifestasi sebagai genetic instability, polymorphisme dan loss of heterozygosity (LOH), yang merupakan tahap paling dini pertumbuhan neoplasia yang merupakan perubahan tingkat gen (genetic level). Polymorphisme (banyak bentuk) adalah suatu kondisi dimana hanya satu gen tapi dapat mengkoding lebih dari satu macam produk genetik yang berbeda fungsi dan bentuk, dimana fungsi produk tersebut bisa berkurang atau berlebihan dibanding fungsi normal. Pada tahap ini belum ada manifestasi neoplasma, terjadi pada proses inisiasi dan menyebabkan timbulnya kerentanan genetik (genetic susceptibility). Jika terjadi perubahan genetik lanjutan misalnya point mutation maka gen tersebut akan menampilkan sifat, fungsi dan bentuk sel yang berbeda dari sel induk (phenotypic levels) (Kumar et al., 2005; Sidransky, 2008; Ganly et al., 2009). Point mutation adalah digantinya satu basa nukleotida pada codon pada pasangan alele yang tersisa dengan jenis basa nukleotida yang lain. 
Keadaan ini merupakan hasil dari proses adaptasi sel yang lama, kurang lebih diatas 10-20 tahun dan membutuhkan paling tidak 6-10 kejadian perubahan genetik (genetic event) (Wein et al., 2010). Pola ini merupakan model dasar perkembangan dan progresifitas berbagai macam solid tumor (Sidransky, 2008; Ganly et al., 2009).
Diperkirakan 10% dari keseluruhan keganasan mempunyai komponen herediter, baik yang diketahui seperti pada etnis Ashkenazi-Jews di Israel, Li-Fraumeni syndrome dan anemia Fanconi’s, maupun yang tidak diketahui. Salah satu kerentanan genetik (genetic susceptibility) yang umum terjadi pada karsinoma rongga mulut adalah adanya polymorphisme, misalnya polymorphisme dalam sintesa enzim ADH, enzim ALDH, sitokrom P450 (CYP), Glutathione S-Transferase (GST) dan N-acetyltransferase dalam metabolisme alkohol dan acetaldehyde, serta adanya ekspresi enzim telomerase (Sidransky, 2008). 
Beberapa hasil penelitian tentang genetic susceptibility tetap konsisten menunjukan bahwa polymorphisme menyebabkan individu tertentu memiliki genetic instability dengan akibat berkurangnya kemampuan memperbaiki kerusakkan DNA (DNA repair), berkurangnya kontrol siklus sel, berkurangnya fungsi apoptosis dan adanya pemeliharaan telomer (telomere maintenace) (Sidransky, 2008). Telomer adalah urutan basa nukleotida pada bagian paling ujung dari DNA jadi termasuk dalam untai DNA akan tetapi telomer tidak mengkode protein apa pun, sehingga bukan merupakan gen. Telomer akan memendek setiap kali adanya pembelahan sel. Jika telomer sudah terlalu pendek kestabilan genom terganggu dan sel akan mati. Ini adalah kematian sel terprogram atau apoptosis. Pada keadaan tertentu dengan adanya enzim telomerase, telomer akan tetap panjang dan kematian sel tidak terjadi (telomere maintenace). Pada kondisi normal sel matur tidak memilki enzim telomerase.
Proto-onkogen adalah gen yang secara normal mengontrol pertumbuhan sel. Proto-onkogen yang teraktivasi (amplifikasi) akan menjadi onkogen, dimana onkogen akan menyebabkan pertumbuhan sel yang berlebihan (Chang et al., 2010). Proto-onkogen yang jelas mengalami amplifikasi pada karsinoma sel skuamosa kepala dan leher adalah proto-onkogen cyclin D1 (PRAD1; CCND1) (Sidransky, 2008). Amplifikasi ini ditemukan lebih banyak pada karsinoma pada lidah dan berhubungan dengan prognosa yang jelek (Mahdey et al., 2011). Onkogen lain yang terbentuk adalah onkogen yang mengekspresikan epidermal growth factor reseptor (EGFR) yang meningkatkan pertumbuhan sel epidermis dan matriks metalloproteinase (MMPs), dan sering dihubungkan dengan migrasi dan adhesi sel neoplasma (Sidransky, 2008; Chang et al., 2010).  
Tumor suppressor gene (TSG) adalah gen yang fungsinya kebalikan dari proto-onkogen (Chang et al., 2010). Secara normal TSG berperan dalam menghambat pertumbuhan sel (apotosis), regulasi siklus sel, perbaikan DNA dan adhesi sel (Chang et al., 2010). TSG yang paling sering bermutasi adalah p53 melalui point mutation. Mutasi ini bukan saja pada sel kanker tapi ditemukan pada lesi prakanker daerah kepala dan leher. Point mutation ini merupakan genetic event yang melengkapi LOH yang sudah ada pada gen p53 dan merupakan kejadian awal proses keganasan pada daerah kepala leher (Chang et al., 2010).
Konsep field cancerization menunjukan bahwa pada keganasan traktus aerodigestivus bisa disertai dengan second primary tumors berupa metachronous tumor dan synchronous tumor. Second primary tumors pada karsinoma kepala leher, terutama dihubungkan dengan merokok, alkohol maupun paparan sinar matahari (Cohen et al., 2006; Sidransky, 2008; Ganly et al., 2009; Wein et al., 2010; Chang et al., 2010; Szeimies et al., 2012; Jerjes et al., 2012). Tumor primer sekunder (second primary tumors) yang terjadi atau dideteksi bersamaan atau kurang dari 6 bulan sejak tumor primer awal (initial primary tumor), disebut synchronous tumors/lesion sedangkan jika lebih dari 6 bulan disebut metachronous tumors/lesion (Kraus dan Joe, 2003; Wein et al., 2010). Second primary tumor kemungkinan terjadi pada tahun pertama sebesar 4% dan menjadi 25% pada 10 tahun berikutnya (Kraus dan Joe, 2003).
Field cancerization adalah adanya perubahan genetik pada area tertentu akibat adanya paparan karsinogen yang lama dan terus-menerus, misalnya alkohol dan tembakau. Permukaan mukosa aerodigestivus merupakan temoat yang sering mengalami field cancerization. Perubahan genetik utama adalah LOH (loss of heterozygosity) (Ganly et al.,2009). LOH adalah hilangnya fungsi gen pada satu alele berpasangan, misalnya tumor suppressor gene akibat mutasi. Dalam kondisi ini tidak terjadi gangguan fungsi oleh karena tumor suppressor gene pada pasangan alele berfungsi normal. Field cancerization tidak menyatakan telah terjadi proses keganasan, tapi secara molekuler sangat berpotensi berkembang kearah keganasan (Chang et al., 2010; Szeimies et al., 2012; Jerjes et al., 2012). Beberapa penulis menyampaikan bahwa, LOH dapat dideteksi dengan pemeriksaan sederhana toluidine blue atau lampu fluoresensi (Ujaoney et al., 2012).
Konsep field cancerization pertama kali di kemukakan oleh Slaughter dkk. pada tahun 1953 dengan dasar bahwa karsinoma sel skuamosa rongga mulut lebih cenderung mengadakan ekstensi kearah samping dari pada kearah dalam, dan menyebutnya sebagai lateral cancerization, yaitu adanya transformasi sel-sel normal disekitar tumor (perkembangan karsinoma multifokal) (Slaughter et al., 1953). Kesimpulan Slaughter ini didasarkan pada pemeriksaan patologi, dimana tampak adanya hiperplasia, hiperkeratinisasi, fibrosis dan atrofi pada tepi reseksi tumor yang secara makroskopis tampak normal, dan dalam folow-up lanjutan dari 783 pasien dengan karsinoma rongga mulut, Slaughter menemukan 11,2% pasien mengalami pertumbuhan tumor primer kedua (Slaughter et al., 1953; Braakhuis et al., 2003). Konsep lain yang berbeda dengan konsep ini dikemukakan oleh Sidransky dkk. Sidransky dkk berpendapat bahwa field cancerization terjadi akibat adanya migrasi sel-sel yang berpotensi ganas ke dalam kumpulan sel-sel normal, jadi tetap satu induk sel (monoclonal), yang selanjutnya mengalami transformasi anaplastik (Dakubo et al., 2007; Sidransky, 2008).  
Walaupun tidak menyingkirkan hipotesa Sidransky, banyak peneliti menunjukkan bahwa pada pemeriksaan sel mukosa normal pada penderita karsinoma rongga mulut, hampir seluruhnya ditemukan adanya LOH atau deletion terutama pada kromosom 9p21 (Lydiatt et al., 1998). Data ini menunjukkan bahwa perkembangan keganasan rongga mulut adalah bersifat multifokal, artinya beberapa lesi premaligna yang berdiri sendiri dapat terjadi pada beberapa tempat yang berbeda pada rongga mulut (multiple clonal) (Braakhuis et al., 2003; Feller dan Lemmer, 2011). 
  1. Lesi Premaligna dan Patologi
Beberapa lesi premaligna, yaitu lesi rongga mulut jinak, dapat berkembang kearah keganasan seperti leukoplakia, eritroplakia, submucosal fibrosis, Lichen planus, verrucous hyperplasia, necrotizing sialometaplasia dan dysplasia (Kraus dan Joe, 2003; Wein et al., 2012; Farah et al., 2012). Eritroplakia adalah lesi yang berwarna merah cerah. Secara histopatologi menunjukan gambaran displasia dengan derajat yang bervariasi, dan lebih sering menunjukan gambaran karsinoma in situ. Semua eritroplakia harus diterapi lebih agresif (Ganly et al., 2009).
Yang paling sering ditemukan adalah leukoplakia, berupa lesi keputihan yang susah dibersihkan. Kemungkinan leukoplakia bertransformasi kearah malignan hanya 6%, sedangkan eritroplakia kemungkinannya 91% menjadi ganas (Wein et al., 2012). Leukoplakia ada dua bentuk yakni homogeneous type dan nonhomogeneous type. Homogeneous leukoplakia berbentuk keputihan, rata dan tipis. Tipe ini banyak ditemukan tapi jarang berubah ke gambaran displasia. Nonhomogeneous leukoplakia berbentuk nodular, berbintik atau verrucous dan sering dihubungkan dengan perubahan displasia. Secara stastistik, beberapa faktor yang berhubungan dengan transformasi leukoplakia kearah malignan adalah sebagai berikut: wanita, leukoplakia yang lama, leukoplakia pada lidah atau dasar mulut, lesi lebih besar dari 2cm, nonhomogeneous type dan adanya displasia (Ganly et.al., 2009).
Setiap lesi premaligna yang di curigai perlu pemeriksaan histopatologi untuk melihat apakah ada gambaran displasia. Derajat displasia yang dianut adalah klasifikasi WHO 2005 yaitu: hyperplasia, displasia ringan, displasia sedang, displasia berat dan karsinoma in situ (Ganly et al., 2009).
Pada kondisi ragu-ragu apakah suatu lesi premaligna non displasia akan bersifat agresif atau tidak, dapat dilakukan pemeriksaan toluidine blue, chemiluminescent illumination system, salivary tumor markers (Cyfra 21-1, tissue polypeptide antigen dan CA125) atau pemeriksaan molecular marker berupa salivary microRNA. (Nagler et al., 2006; Poh et al., 2006; Park et al., 2009; Ujaoney et al., 2012; Centelas et al., 2012). Beberapa laporan menyatakan bahwa pemeriksaan dengan toluidine blue dapat membantu mendeteksi adanya LOH pada lesi premaligna, walaupun secara sitologi belum ditemukan adanya gambaran displasia (Ganly et al., 2009). Molecular marker lain yang banyak dilaporkan, antara lain podoplanin, p53, HPV gen, cyclin D1, p27, p63 dan galectin-3 atau disingkat Gal-3 (Cooper dan Baronds, 1999; Mazurek et al., 2000; Ganly et al., 2009; Tadbir et al., 2010; Balan et al., 2010; Cay, 2012; Lepur, 2012).
Terapi lesi premaligna paling baik dilakukan dengan terapi fotodinamik (Photodynamic therapy, PDT), terutama untuk lesi multifokal, dan dapat dikombinasi dengan modalitas terapi yang lain (Jerjes et al., 2012; Szeimies et al., 2012). Fotosensitisasi dapat menggunakan photosensitisers generasi pertama (Photofrin, 5-ALA dan Verteporfin) atau generasi kedua yang sangat potent seperti Foscan (Jerjes et al., 2012).  Perkembangan PDT saat ini sudah sangat maju, bahkan sekarang mulai digunakan pada lesi maligna, dengan cara mengkombinasikan dengan antiangiogenic agent, terutama pada kasus dengan resisten kemoradiasi (Bhuvaneswari et al., 2011). PDT saat ini dikenal sebagai modalitas terapi ke empat (the fourth modality) sesudah bedah, radioterapi dan kemoterapi (Jerjes et al., 2012).
Mendeteksi lesi premaligna atau karsinoma rongga mulut sedini mungkin sangat penting oleh karena terapi pada stadium dini survival rate bisa mencapai 80-90%, tapi jika sudah stadium lanjut, angka kematian menjadi sangat tinggi, dimana relative 5-year survival rate 36,3% pada stadium III dan 23,3% pada stadium IV (Wein et al., 2010; Bittar et al., 2010). Rata-rata dari semua stadium, five-year survival rate 50% dan menjadi 15% pada stadium lanjut (Farah et al., 2012).
Secara histopatologi, karsinoma rongga mulut adalah identik dengan karsinoma sel skuamous (oral squamous cell carcinoma) oleh karena mencakup 90%-95% dari keseluruhan jenis keganasan (Abeloff, 2008; Wein et al., 2010; Feller dan Lemmer, 2012; Ogbureke dan Bingham, 2012). Ada beberapa varian dari karsinoma sel skuamous seperti sarcomatoid squamous cell carcinoma, basaliod carcinoma dan verrucous carcinoma. Basaliod carcinoma bersifat sangat agresif, sedangkan verrucous carcinoma adalah varian yang bersifat low grade. Verrucous carcinoma jarang metastase tapi sering mengadakan invasi lokal (locally agressive).  Sifat lain verrucous carcinoma yaitu lebih sering pada umur lanjut, lebih radioresisten, sering rekuren dan dikatakan, berhubungan dengan infeksi HPV (Kraus dan Joe, 2003; Ganly et al., 2009). Jenis histopatologi lain yaitu adenokarsinoma (banyak pada wanita terutama pada palatum durum), sarkoma, limfoma dan melanoma (Ganly et al., 2009; Wein et al., 2010). 
Selain jenis histopatologi, derajat histopatologi juga perlu diketahui untuk perencanaan terapi (Wein et al., 2010). Derajat histopatologis adalah suatu penilaian secara kualitatif diferensiasi sel tumor dari sel normal dan jumlah mitosis dalam tumor (Kumar et al., 2005). Derajat histopatologis apakah low grade malignancy atau high garde malignancy sangat berhubungan dengan agresifitas tumor dan prognosa penyakit (Kumar et al., 2005). G1 (grade 1) menunjukkan diferensiasi sel yang baik dimana secara jelas dapat diketahui jenis asal sel (well differentiated), sedangkan G4 (grade 4) adalah gambaran sel yang tidak bisa dikenal lagi asalnya (undifferentiated) (Greene et al., 2006). Klasifikasi derajat diferensiasi seperti di kutip dari AJCC Cancer Staging Atlas 2006 adalah sebagai berikut:
GX Grade cannot be assessed
G1 Well differentiated
G2 Moderately differentiated
G3 Poorly differentiated
G4 Undifferentiated
G1 dan G2 termasuk low grade malignancy, sedangkan G3 dan G4 termasuk high grade malignancy (Wein et al., 2010).
  1. Gejala Klinis
Walaupun rongga mulut mudah diperiksa baik oleh pasien maupun dokter, tapi pada umumnya pasien datang pada stadium lanjut (Ganly et al., 2009). Keterlambatan dalam diagnosa atau mengenal lesi premaligna merupakan salah satu faktor yang menyebabkan buruknya prognosis penyakit ini (Bittar et al., 2010; Feller dan Lemmer 2012; Farah et al., 2012). Jumlah kasus yang di diagnosis sudah pada stadium III berjumlah kurang lebih 53,16% (Bittar et al., 2010).  Keadaan ini tidak saja terjadi di negara berkembang tapi juga di negara negara maju (Bittar et al., 2010; Oral Cancer Foundation, 2012). Angka kemungkinan hidup dalam 5 tahun setelah didiagnosis akan turun menjadi 15% jika didiagnosa pada stadium lanjut atau telah ada penyebaran limfatik (Oral Cancer Foundation, 2012; ACS, 2012). Keterlambatan ini mencakup patient delayed dan professional delayed (Farah et al., 2012). Patient delayed maksudnya waktu antara gejala awal dirasakan sampai konsultasi pertama ke dokter, professional delayed adalah waktu antara konsultasi pertama sampai ditetapkannya diagnosa definitif (Centelas et al., 2012; Farah et al., 2012).
Gejala karsinoma rongga mulut bervariasi sesuai letak anatominya (Ganly et al., 2009). Karsinoma rongga mulut dibatasi mulai dari perbatasan kulit dan bagian merah bibir (vermillion), kearah posterior sampai di palatum durum dibagian di bagian superior dan mencakup 2/3 anterior lidah pada bagian inferior dengan batas pada linea terminalis lidah (papila circumvallate) dan pilar anterior tonsil pada sisi lateral (Shah dan Patel, 2003; Wein et al., 2010). Rongga ini terbagi dalam tujuh tempat spesifik (specifik subsite), yaitu: bibir, dentoalveolar ridge, lidah, trigonum retromolar, dasar mulut, mukosa bukal dan palatum durum (Shah dan Patel, 2003; Wein et al., 2010). 
Angka kejadian keganasan pada lidah dan dasar mulut cukup tinggi, terutama di negara barat, yaitu 20%-40% pada lidah dan 12%-20% pada dasar mulut. Di Asia dimana banyak kebiasaan mengunyah tembakau dan betel nuts, ditemukan lebih banyak pada daerah trigonum retromolar dan mukosa bukal (Shah dan Patel, 2003). Jika digabungkan seluruh kasus umumnya lidah dan dasar mulut mencakup 50% dari keseluruhan anatomic subsite keganasan rongga mulut (Fellar dan Lemmer, 2012).
Pasien umumnya datang dengan keluhan adanya tumor, perdarahan, nyeri, pembesaran kelenjar getah bening leher atau adanya gangguan bicara, bernapas atau makan (Kraus dan Joe, 2003). Pada banyak kasus, umumnya tidak bergejala. Nyeri timbul karena adanya infiltrasi pada otot atau serabut saraf (Bolesina et al., 2012). Keluhan-keluhan ini harus diperiksa dengan teliti, yang mencakup keseluruhan pemeriksaan rongga mulut dan faring, pemeriksaan leher untuk melihat apakah ada pembesaran kelenjar dan keadaan umum pasien (Newkirk dan Holsinger, 2006). Pertumbuhan tumor yang bersifat endophytic, kadang-kadang sulit dikenal dan sulit ditentukan batas ekstensinya, pada keadaan ini perlu dilakukan pemeriksaan dengan pembiusan umum. Dalam pemeriksaan rongga mulut dan faring perlu diperhatikan untuk melihat apakah ada lesi lain (synchronous tumors/lesion) disamping lesi utama (initial primary tumor), sesuai konsep field cancerization (Kraus dan Joe, 2003; Ganly et al., 2009). Setiap ulkus rongga mulut yang bersifat nyeri dan tidak sembuh atau tidak ada respons pada pengobatan lokal dalam satu sampai dua minggu atau bertambahnya konsistensi pada observasi, harus dicurigai suatu malignansi dan harus dilakukan biopsi. Lesi jinak jika berkembang ke arah maligna umumnya berbentuk lesi exophytic atau ulcerative (Bolesina et al., 2012).
Gejala yang ditemukan pada bibir sering berupa ulkus dan terutama terjadi pada bibir bagian bawah kira-kira 88%-95% (Wein et al., 2010). Pada lesi bentuk nodular atau sklerotik harus di palpasi untuk menentukan ukuran sebenarnya. Adanya rasa kebas pada salah satu sisi bibir menunjukan adanya infiltrasi pada nervus mentalis (Kraus dan Joe, 2003). Metastase pada kelenjar getah bening leher jarang ditemukan, kira-kira 10% dari kasus. Tapi jika ditemukan sering bersifat bilateral oleh karena adanya komunikasi pada aliran limatiknya (Kraus dan Joe, 2003; Wein et al., 2010). 
Keluhan utama tumor pada alveolar ridge biasanya nyeri saat mengunyah (Kraus dan Joe, 2003). Keluhan lain yang lebih jarang adalah adanya perdarahan intermittent dan lepasnya gigi. Mandibular alveolar ridge (lower alveolus) lebih sering timbul lesi dari maksila dan sisi korpus mandibula lebih sering dari daerah simpisis. Adanya anastesia pada gigi dan bibir bawah menunjukan adanya infiltrasi pada kanal mandibula dan nervus alveolaris inferior (Ganly et al., 2009). Metastase ke kelenjar getah bening leher jarang ditemukan (Kraus dan Joe, 2003).
Struktur lidah adalah berupa kumpulan otot yang dibungkus oleh non-keratinizing squamous epithelium. Lidah dalam rongga mulut (2/3 anterior) terbagi atas sisi lateral, sisi ventral, ujung lidah dan sisi dorsal. Sisi ventral lidah berhadapan dengan dasar mulut bagian anterior. Sisi posterolateral adalah bagian yang paling sering mengalami pertumbuhan tumor, kira-kira 75% dibanding sisi yang lain. Keluhan utama tumor ganas lidah adalah ulkus yang nyeri atau benjolan yang bertumbuh eksofitik (Wein et al., 2010). Kadang-kadang ada penjalaran nyeri ke telinga akibat adanya infiltrasi ke cabang mandibularis nervus trigeminus (V3) (Kraus dan Joe, 2003). Kemungkinan adanya second primary tumor pada karsinoma lidah cukup tinggi, sekitar 24% (Kraus dan Joe, 2003). Demikian juga kejadian occult metastase ke kelenjar getah bening leher cukup tinggi, kira-kira 40%. Oleh karena itu dianjurkan dilakukan elective neck dissection sekalipun T-stage pada T1 atau T2 karena secara umum terbukti meningkatkan survival rate (Kraus dan Joe, 2003). 
Karsinoma dasar mulut biasanya pada laki-laki dekade ke-6 dan jarang terdeteksi pada stadium dini karena lokasinya tersembunyi (Kraus dan Joe, 2003). Kurang lebih 35% ditemukan dengan besar tumor (T-stage) lanjut, T3-T4 (Wein et al., 2010).  Gejala lesi pada dasar mulut umumnya nyeri lokal mapun nyeri pada telinga ipsilateral karena infiltrasi pada nervus lingualis yang merupakan cabang dari nervus mandibularis (V3) (Kraus dan Joe, 2003). Keluhan lain yang cukup sering adalah seperti ada makanan yang terjebak pada dasar mulut (Ganly et al., 2009). Otot dasar mulut, genioglossus, milohioid dan hioglossus berfungsi sebagai barrier penyebaran tumor. Jika ada invasi pada otot-otot ini terjadi hambatan gerakan lidah dan timbul dysarthria. Tumor pada anterior dasar mulut sering berkembang kearah posterior ke dasar lidah (lidah 1/3 posterior). Tumor yang teraba fix, menandakan adanya infiltasi ke periosteum atau ke mandibula (Ganly et al., 2009). Kejadian second primary tumor dan metastase ke kelenjar leher ipsilateral maupun kontralateral cukup sering, sama dengan karsinoma pada lidah, oleh karena itu dianjurkan dilakukan elective neck dissection sekalipun T-stage pada T1 (Kraus dan Joe, 2003; Wein et al., 2010).
Karsinoma pada mukosa bukal sering sekali berbentuk exophytic dengan mukosa sekelilingnya tampak gambaran leukoplakia (Ganly et al., 2009). Jenis patologis yang sering adalah verrucous carcinoma yang bersifat low-grade malignancy, tapi locally aggressive (Kraus dan Joe, 2003; Wein et al., 2010). Karsinoma ini sering diasosiasikan dengan mengunyah tembakau atau betel nut (Wein et al., 2010). Nyeri jarang menjadi keluhan utama sehingga jarang pasien datang dengan tumor T1 (Ganly et al., 2009). Terapi utama adalah reseksi bedah dan jarang diperlukan elective neck dissection (Wein et al., 2010). 
Pasien dengan tumor pada trigonum retromolar umumnya terdiagnosa sudah pada stadium lanjut dimana 50% pasien sudah disertai metastase regional (Wein et al., 2010). Adanya trismus menunjukan adanya infiltrasi tumor pada otot pterigoid medialis (Kraus dan Joe, 2003). Ekstensi tumor sering ke dasar lidah, arcus faucial dan tonsil (Wein et al., 2010).
Gejala pada karsinoma palatum durum umumnya nyeri, adanya perdarahan dan gangguan bicara (Kraus dan Joe, 2003). Adanya lesi yang dicurigai keganasan harus dikonfirmasi secara patologis untuk membedakan dengan lesi yang lain. Pada pertumbuhan tumor yang lanjut, terjadi ekstensi ke kavum nasi lewat foramen insisivus atau ke dasar otak melalui foramen palatinus mayor (Kraus dan Joe, 2003). Aliran limfatik dari palatum durum sedikit, sehingga jarang ada metastase regional ke leher (Kraus dan Joe, 2003).
Setiap lesi pada rongga mulut yang dicurigai suatu proses keganasan harus dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan jaringan bisa dengan biopsi insisi, punch biopsy atau biopsi jarum halus, tergantung letak lesi. (Newkirk dan Holsinger, 2006; Ganly et al., 2009). Demikian juga temuan adanya pembesaran kelenjar getah bening leher, sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan sitologi. Pemeriksaan dengan CT, MRI maupun PET mempunyai akurasi yang tinggi dalam menetapkan adanya proses neoplastik pada kelenjar leher, seperti adanya gambaran seperti cincin dan nekrosis sentral (Kraus dan Joe, 2003).
Persentasi metastase ke kelenjar getah bening leher kira-kira 2%-9% dari keseluruhan karsinoma sel skuamosa daerah kepala leher dan paling sering yang berasal dari lesi dasar mulut dan lidah (Chang et al., 2006). Secara umum dikatakan, lesi pada daerah posterior rongga mulut lebih mungkin metastase ke kelenjar getah bening leher daripada lesi pada sisi anterior (Kraus dan Joe, 2003). Pemeriksaan histopatologi pembesaran kelenjar getah bening leher dianjurkan pemeriksaan biopsi jarum halus (FNA). Biopsi terbuka pada kelenjar leher tidak dianjurkan (Kraus dan Joe, 2003). 
American Joint Committee on Cancer (AJCC) merekomendasikan klasifikasi lokasi kelenjar getah bening leher sebagai berikut: 
  • Level I: Submental, 
Submandibular
  • Level II: Upper jugular
  • Level III: Mid-jugular
  • Level IV: Lower jugular
  • Level V: Posterior triangle 
  • Level VI:  Prelaryngeal (Delphian), Pretracheal, Paratracheal
  • Level VII: Upper mediastinal
  • Other groups: Sub-occipital
Retropharyngeal
Parapharyngeal
Buccinator (facial)
Preauricular
Periparotid and intraparotid (AJCC, 2006).

Metastase jauh pada karsinoma rongga mulut umumnya terjadi pada stadium lanjut, jarang terjadi pada stadium dini. Metastase terutama terjadi di paru-paru atau tulang (Kraus dan Joe, 2003). Penentuan ada tidaknya metastase jauh, dilakukan berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang tambahan, seperti radiologi toraks dan USG abdomen (Chang et al., 2006). Karsinoma rongga mulut yang lanjut atau yang ada riwayat perokok berat sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT toraks, oleh karena pemeriksaan foto rontgen saja tidak bisa mendeteksi adanya metastase paru pada perokok (Bolesina et al., 2012). 
Sebelum terapi dilakukan, perlu dilakukan penentuan stadium klinis (clinical staging). Stadium klinis yang dipakai berdasarkan TNM system dari Union for International Cancer Control (UICC) dan American Joint Committee on Cancer  (AJCC) yang selalu diperbaharui secara berkala dan dipakai sebagai keseragaman dalam menggambarkan penyakit neoplastik. Penentuan stadium klinik harus ditentukan sebelum terapi direncanakan, terutama untuk memperkirakan prognosa, membantu merencanakan terapi, menilai outcome setelah terapi dan dapat digunakan untuk membandingkan dengan kasus yang sama dari berbagai institusi di seluruh dunia (Kraus dan Joe, 2003; Bolesina et al., 2012). Jika stadium klinis telah ditetapkan dan terapi telah dimulai, maka setiap temuan lain dapat ditambahkan tetapi tidak boleh merubah stadium klinis awal (Bolesina et al., 2012). 
Tabel. 2.1: Klasifikasi sistem TNM Karsinoma Rongga Mulut dan Faring

pastedGraphic_6.png
Dikutip dari Bolesina et al., 2012

Tabel. 2.2: Stadium Klinis Karsinoma Rongga Mulut dan Faring
pastedGraphic_7.png
* Extracapsular spread (ECS) of disease is added as ECS + or ECS—as a descriptor.
These descriptors will not influence nodal staging. Dikutip dari Bolesina et al., 2012


  1. Terapi dan Penanganan KGB Leher
Terapi karsinoma rongga mulut mencakup beberapa modalitas seperti pembedahan, radioterapi, kemoterapi, imunoterapi, targeted therapy, terapi fotodinamik dan beberapa jenis terapi lain yang umumnya bersifat tambahan (Ichwan et al. 2012; Arun et al., 2012; ACS,2012). Secara umum terapi pilihan adalah pembedahan atau radioterapi atau kombinasi keduanya (Trang dan Lavertu, 2005; Mendenhall et al., 2008; Ganly et al.,2009). Modalitas terapi tunggal apakah pembedahan atau radioterapi saja ditujukan hanya pada lesi kecil (T1-T2). Perkembangan alat-alat maupun teknologi baru seperti sinar gamma, electrons, protons, atomic nuclei, tridimensional (3DR), sterotactic, Modulated Intensity Radiotherapy (MIR) dan Image-Guided Radiation Therapy (IGRT) membantu dokter memperbaiki ketepatan radiasi, tapi disisi lain hal ini menyebabkan keterlambatan terapi standar dan cenderung meningkatkan rekurensi dan metastase (Bolesina et al.,2012). 
Eksisi bedah dianjurkan oleh karena memungkinkan untuk menilai tepi reseksi secara mikroskopik termasuk invasi ataupun infiltrasi sel-sel tumor pada jaringan sekitarnya (pathologic staging) dan menghindari akibat radiasi seperti xerostomia dan osteoradionecrosis (Kraus dan Joe, 2003; Sunarto, 2007; Ganly et al., 2009; Wein et al., 2010). Kelemahan utama pembedahan dibanding radiasi adalah adanya gangguan fungsi, terutama jika dilakukan reseksi mandibula atau lidah (Kraus dan Joe, 2003). Saat ini umumnya berpendapat eksisi bedah adalah terapi lokoregional utama yang paling efektif untuk tumor solid termasuk karsinoma rongga mulut dan memberikan kesembuhan sebagian besar penderita kanker (Sunarto, 2007; Wein et al., 2009). 
Pilihan terapi bersifat individual dan harus disesuikan dengan faktor tumor (stadium, letak, grading histologi), faktor pasien (umur, pekerjaan, sosio-ekonomi, gaya hidup, kondisi fisik, psikologis pasien) dan faktor dokter (pembedahan, radioterapi, kemoterapi, perawatan dan layanan penunjang lain) (Mendenhall et al., 2008; Ganly et.al.,2009; Wein et al., 2010). Komunikasi antara dokter dan pasien maupun keluarganya sangat diperlukan untuk menyampaikan rencana terapi, termasuk kemungkinan kegagalan, komplikasi, maupun tahapan terapi lanjutan (Ganly et al.,2009; Wein et al., 2010).
Konsep utama dalam reseksi tumor primer adalah kecukupan reseksi dari tepi tumor (surgical margins). Rekurensi pada surgical margins yang positif, dua kali lebih tinggi dari tepi reseksi yang negatif (Kraus dan Joe, 2003). Demikian juga 5-year survival rates dan kejadian rekurensi tidak berbeda antara close surgical margins (kurang dari 5mm) dan microscopically positive margins (Kraus dan Joe, 2003). Oleh karena itu untuk mendapatkan tepi reseksi bebas tumor sebesar 5mm atau lebih, minimal harus dilakukan reseksi 8-10 mm dari batas tumor (Chang et al., 2006). Divisi Bedah KL RSUD Dr. Soetomo menganjurkan batas reseksi 1 cm sampai 2 cm dari tepi tumor dan dilakukan konfirmasi histopatologi untuk menyatakan bahwa batas reseksi bebas tumor (Divisi Bedah KL RSUD Dr. Soetomo, 2009). Poh dkk. berdasarkan uji eksperimental mengusulkan penentuan batas reseksi menggunakan bantuan lampu fluoresensi durante operasi, dimana hasilnya lebih baik dari cara konvensional (Poh et al., 2006).
Prosedur  operasi yang dilakukan disesuaikan dengan besar tumor, lokasi dan struktur anatomi yang terinfiltrasi tumor (Wein et al., 2010). Tumor kecil (T1-T2) dan terletak anterior dapat di reseksi transoral (Ganly et al., 2009). Tumor besar, infiltratif dan lokasi lebih ke posterior memerlukan pemaparan yang lebih luas, seperti upper cheek flaps, lower cheek flaps atau mandibulotomy (Ganly et al., 2009; Wein et al., 2010). Jika terbukti jelas infiltrasi ke mandibula, perlu dilakukan reseksi, apakah mendibulektomi marginal atau mandibulektomi segmental. Pada pasien dengan mandibula yang edentulous dan pada pasien yang telah menjalani radioterapi, sebaiknya  jangan melakukan mandibulektomi marginal, tapi mandibulektomi segmental, oleh karena pada mandibulektomi marginal banyak terbuka saluran-saluran dalam tulang yang memudahkan terjadi metastase (Ganly et al.,2009). Periosteum mandibula berfungsi sebagai penghambat penyebaran tumor ke dalam tulang (Ganly et al., 2009). Adanya infiltrasi ke mandibula meningkatkan resiko penyebaran tumor ke basis kranii melalui nervus alveolaris inferior (Ganly et al., 2009). 
Penilaian apakah ada early invasion ke korteks mandibula secara radiologis cukup sulit (Ganly et al., 2009). Gambaran radiologi konvensional yang menyatakan adanya invasi ke tulang, memerlukan kehilangan mineral tulang sebesar paling sedikit 30%-50% (Ganly et al., 2009). Pemeriksaan lain yang lebih canggih seperti CT scan, MRI dan PET dan bone scan radioaktif menghasilkan banyak positif palsu (Ganly et al., 2009). Penilaian yang dianggap paling realitis adalah penilaian klinis dengan bantuan radiologi sederhana, dan sudah cukup untuk pengambilan keputusan (Ganly et al., 2009).
Dalam terapi lokoregional karsinoma rongga mulut, selain reseksi tumor primer yang adekuat, perlu dipertimbangkan untuk diseksi kelenjar getah bening leher (Lucioni, 2007). Penelitian pada pasien-pasien yang dilakukan diseksi leher profilaktik atau elective neck dissection (END) ternyata ditemukan adanya metastase pada level I sebesar 53.3%, level II sebesar 40% dan level III sebesar 6,7% (Wein et al., 2010). Pada kasus karsinoma rongga mulut yang disertai metastase regional ke kelenjar getah bening leher (N-positif) jelas perlu dilakukan diseksi kelenjar leher secara menyeluruh level I-V (comprehensive neck dissection), apakah secara radikal atau modifikasi (MRND) (Gavilan et al., 2002; Lucioni, 2007; Robbins et al., 2010; Wein et al., 2010). Pada kasus karsinoma rongga mulut dengan N0 (clinically negative neck), perlu dipertimbangkan dengan baik apakah perlu dilakukan diseksi leher (elective neck dissection) atau tidak, oleh karena diseksi leher yang tidak berguna hanya menyebabkan morbiditas, sedangkan jika pada follow-up ditemukan adanya metastase pada kelenjar leher maka dua permasalahan yang bisa terjadi: pertama efektifitas tindakan terapeutik (chance of cure) berkurang 50% (Kraus dan Joe, 2003; Ganly et al., 2009); kedua terjadi penurunan 5-year survival rates, 59% sampai 35% (Wein et al., 2010).
Tumor primer yang besar (T3-T4) atau adanya invasi ke mandibula (teraba fix) adalah faktor resiko atau tanda klinis yang sangat berkorelasi terjadinya metastase ke kelenjar getah bening leher, sehingga dianjurkan dilakukan diseksi leher profilaktik (Wein et al.,2010). Faktor resiko lain yang perlu dipertimbangkan, apakah perlu diseksi leher profilaktik adalah letak tumor primer, histological grade, morfologi tumor, gambaran patologi dan kedalaman invasi (Ganly et al., 2009; Robbins et al., 2010; Wein et al., 2010). 
Diseksi leher profilaktik atau elective neck dissection (END) atau supraomohyoid neck dissection (SOHND), adalah diseksi sebagian saja dari KGB leher (selective neck dissection) yaitu KGB pada level I,II dan III, oleh karena pada N0 (clinically negative neck) kemungkinan metastase ke level IV dan V sangat kecil. Pada tumor primer lidah perlu diseksi level I sampai IV (extended SOHND) oleh karena metastase dari tumor primer pada lidah bisa langsung metastase pada level IV (skip metastase) (Ganly et al., 2009; Wein et al., 2010). Jika pada pemeriksaan frozen section didapatkan adanya metastase pada KGB leher, maka harus dikerjakan comprehensive neck dissection apakah klasik RND atau radical neck dissection yang dimodifikasi (MRND). Dikatakan bahwa, untuk melakukan selective neck dissection sebaiknya tersedia konfirmasi patologis (Ganly et al., 2009). 

Tabel. 2.3. Faktor Resiko Karsinoma Rongga Mulut Bermetastase ke Kelenjar Getah Bening Leher
pastedGraphic_8.png
( Ganly et al., 2009)
RND klasik merupakan gold standard, dan hasil control disease nya paling baik, sebanding dengan MRND ditambah radioterapi, tapi oleh karena sangat tinggi juga komplikasi post operasinya, tindakan ini kurang dianjurkan dan hanya dikerjakan ditempat dengan fasilitas terbatas atau jika selama operasi jelas tampak ada infiltrasi pada struktur yang bersangkutan (Ganly et al., 2009). Dibagian Bedah Kepala Leher RS Dr Soetomo Surabaya tetap menganjurkan RND klasik pada N+ dan pada T-stage T3-T4 dengan N0 (Divisi Bedah KL RSUD Dr. Soetomo, 2009).
Kemoterapi maupun modalitas terapi lain lebih ditujukan pada kasus incurable atau gagal dengan pengobatan konvensional (Ganly et al., 2009; Manuaba, 2010). Untuk stadium lebih lanjut (Stadium III dan IV), eksisi luas tumor primer di sertai radiasi post-operasi adalah menjadi pilihan (Ganly et al.,2009). Kemoradiasi sebagai neo-adjuvant mungkin meningkatkan survival tapi juga meningkatkan morbiditas pasien (Bolesina et al.,2012). Terapi lain mencakup terapi fotodinamik, imunoterapi, targeted therapy dan berbagai jenis terapi lain (Jerjes et al., 2012).
  1. Prognosa
Hingga saat ini dianggap kemajuan teknologi belum dapat memperbaiki prognosis karsinoma rongga mulut, disamping keterlambatan diagnosis, juga akibat lemahnya faktor prognostik yang ada sekarang seperti sistim TNM dan grading histopatologi (Mahdey et al., 2011; Farah et al., 2012). Survival rate pada stadium dini bisa mencapai 80-90%. Pada stadium lanjut, angka kematian meningkat bermakna, dimana pada stadium III sebesar 36,3% dan pada stadium IV sebesar 23,3%  (Wein et al., 2010; Bittar et al., 2010). Secara umum five-year survival rate karsinoma rongga mulut hanya sebesar 50% (Farah et al., 2012).
Walaupun sistem TNM ini dipakai secara umum tapi banyak yang menganggap sebagai faktor prognostik adalah jauh dari sempurna, misalnya nodal metastase jauh lebih bermanfaat dari pada T stage  (Ganly et al., 2009). Faktor prognostik yang tepat diperlukan untuk memperkirakan survival rate, tapi lebih dari itu dapat merobah rencana terapi, seperti tindakan lebih agresif walaupun masih dalam stadium dini (Ganly et al., 2009).
Faktor prognostik selain sistem TNM dan derajat histopatologi telah banyak dilaporkan, antara lain, etnis, umur, jenis kelamin, gaya hidup, ada tidaknya protective factor, lokasi tumor, besar tumor, batas eksisi bebas tumor baik secara histopatologis maupun secara imunohistokimia (molecular margin/gene signature) dan pemeriksaan biomarker serum (Zhu et al., 2010; Wein et al., 2010; Bittar et al., 2010; Mahdey et al., 2011; Reis et al., 2011). Salah satu molecular markes yang banyak diteliti adalah ekspresi galectin-3 atau disingkat Gal-3 oleh sel-sel tumor (Cooper dan Barondes, 1999; Balan et al. 2010; Lepur, 2012).


  1. Galectin-3
Hubungan antara galectin-3 dengan kanker telah banyak dilaporkan, seperti korelasi antara ekspressi galectin-3 dengan tumorigenesis, neoplastic transformation, neoplastic progression baik melalui regulasi proliferasi sel, inhibisi apoptosis, cell adhesion, invasion, angiogenesis dan metastase (Cooper dan Barondes, 1999; Honjo et al., 2000; Prietro et al., 2006; Balan et al., 2010; Lepur, 2012). Galectin adalah protein pengikat karbohidrat yang merupakan gugus protein yang secara spesifik berkonyugasi melalui ikatan kovalen dengan β-galactose
Galectin pertama kali diisolasi pada belut pada tahun 1974, dan dikenal saat itu dengan electrolectin. Galectin ditemukan pada vertebrata pada tahun 1976, dengan berat molekul 15kD, yang saat ini struktur tersebut dikenal sebagai galectin-1 (Cummings dan Liu, 2009). Galectin-3 pertama kali diperkenalkan pada tahun 1982 sebagai makrofag marker dengan nama Mac-2, yang diisolasi dari fibroblast tikus dengan berat molekul 35kD (Cummings dan Liu, 2009; Balan et al., 2010). Suatu protein yang sama, yang juga dipelajari oleh peneliti-peneliti lain dengan nama Ig-E binding protein, L-29 dan L-31, sejak nomenklatur tahun 1994 diganti menjadi galectin-3 (Cummings dan Liu, 2009).
Galectin terdiri dari tiga subgroup, proto-type, tandem-repeat type dan chimera type. Proto-type galectin disebut juga dimeric mengandung satu CRD (Galectin-1,2,5,7,10,11,13,14,15), tandem-repeat type galectin yang disebut juga biCRD memiliki dua CRD (Galectin-4,6,8,9,12) dan chimera type, dimana galectin ini memiliki satu CRD dengan N-terminal (Galectin-3) (Balan et al., 2010; Lepur, 2012). Secara spesifik galectin-3 terdiri dari 3 struktur yaitu: terminal pendek NH2 tempat terjadinya fosforilasi serine; terdapat rangkaian protein berulang menyerupai kolagen alfa; dan satu terminal COOH yang memiliki affinitas dengan karbohidrat yang disebut juga carbohydrate-binding domains atau carbohydrate-recognition domain (CRD) (Cay et al., 2012). 
Galectin adalah protein yang berikatan dengan glycan (Mazurek et al., 2000; Cummings dan Liu, 2009; Lepur, 2012). Glycan adalah sebutan untuk bagian karbohidrat yang terikat pada struktur biomolekul kompleks seperti protein, lipid atau molekul organic lain. Reaksi atau proses terjadinya ikatan antara glycan dan struktur lain misalnya galectin-3 disebut glycosylation. Glycosylation bisa pada sisi amide nitrogen atau disebut juga N-glycosylation atau pada sisi hydroxyl oxygen atau disebut juga O-glycosylation. Proses ini menjadi penting karena menghasilkan berbagai fungsi biologi (Abe dan Suzuki, 2007; Lepur, 2012). Glycan yang berikatan dengan protein disebut lectin. Jika jenis karbohidrat (glycan) pada lectin adalah karbohidrat β-galactoside/β-galactose, maka disebut galectin. Dengan demikian galectin adalah lectin yaitu struktur ikatan antara protein dan karbohidrat (glycan) dimana struktur glycan yang berikatan dengan protein adalah karbohidrat β-galactoside. Struktur ini disebut sugar binding proteins, carbohydrate binding proteins, galatoside binding proteins ataupun dengan penyebutan glycan binding proteins (GBPs), yaitu struktur molekul yang termasuk dalam sugar functional group yang mempunyai fungsi cukup luas dalam organisme hidup. Dengan demikian galectin adalah sebuah lectin, dimana glycan yang berikatan dengan protein adalah galactoside dengan spesifikasi fungsi tertentu yang spesifik (Lepur, 2012).
Ciri khas galectin antara lain mempertahankan keutuhan urutan asam amino (amino acid sequence) dengan cara mempertahankan struktur tempat ikatan dengan karbohidrat atau disebut juga carbohydrate-binding domains/carbohydrate-recognition domain (CRD). Satu CRD mempunyai susunan kurang lebih 135 asam amino (Lepur, 2012). Walaupun begitu hanya sebagian kecil residu yang berikatan dengan glycan (Cummings dan Liu, 2009). Glycan atau substans yang mengandung karbohidrat yang berikatan dengan CRD, umumnya adalah glycoprotein disebut juga ligand (high affinity ligand binding), misalnya. subtrates, inhibitors, activators, neurotransmitters dan berbagai struktur lain (Balan et al., 2010; Mahdey et al., 2011; Reis et al., 2011). Affinitas ini sangat tinggi terhadap natural glycoconjugate ligands (glycan ligands) yang terdapat pada permukaan sel atau pada matriks ekstrasel, misalnya protein pada membrana basalis (laminin dan fibronectin), reseptor pada membran sel (CD7, CD43, CD45, integrins α7β1 dan integrins α1β1) dan lysosome-associated membrane proteins (LAMP-1 dan LAMP-2) (Cummings dan Liu, 2009). Affinitas ini berkurang jika terjadi phosphorylation pada N-terminal galectin-3 (Mazurek et al., 2000).  
Galectin dapat ditemukan pada banyak organisme, disintesis dalam ribosome cytoplasmic, dan menumpuk dibawah membran sel (Lepur, 2012). Jika disekresi dapat ditemukan pada permukaan luar sel atau pada matriks ekstraselular (Vereecken et al., 2007). Galectin dapat di ekspresi (gene expression) oleh sel-sel yang teraktivasi misalnya sel T, sel B, regulatory T-cell, sel dendrit, sel mast, eosinofil, monosit/makrofag dan netrofil (Cummings dan Liu, 2009). Gen yang bertanggung jawab mengkoding sintesa galectin-3 adalah gen LGALS3 pada kromosom 14 (Lepur, 2012). Galectin-3 di ekspor keluar sel tidak melalui jalur klasik dan mekanisme yang jelas belum diketahui, diduga bersamaan dengan sekresi growth factor atau cytokines (Cummings dan Liu, 2009). Sampai saat ini regulasi (gene regulation ) maupun sekresi galectin-3 belum diketahui dengan jelas (Cummings dan Liu, 2009).  
Gene regulation adalah pengaturan gene expression dalam hal timing, location dan jumlah, sehingga produk yang ada sesuai yang dibutuhkan misalnya pengaturan kadar cyclin yang berfungsi sebagai kontrol siklus sel. Gene regulation antara lain transcriptional regulation yaitu baik secara genetic, modulation dan epigenetic. Cara genetic, adalah direct interaction, dimana protein berikatan dengan tempat tertentu pada DNA (regulatory DNA binding site), enhancer, insulator dan silancer, misalnya pada ikatan tertentu pada DNA menghambat RNA polymerase. Cara Modulation, adalah pengaturan transkripsi oleh karena adanya signal intrasel melalui beberapa reaksi kimia seperti phosphorylation, acetylation dan glycosylation. Cara epigenetic adalah pengaturan ekspresi gen (gene expression) tanpa merobah susunan basa nukleotida, misalnya DNA methylation.  
Gene expression adalah proses dimana informasi genetika(genetic code) pada DNA dipakai untuk sintesa protein. Tahap gene expression yaitu transcription, RNA splicing, translation, post translation modification. Transcription adalah pembentukkan RNA yang merupakan copies dari DNA oleh enzim RNA polymerase. DNA terdiri dari 2 untaian, templete strand dan coding strand. RNA yang terbentuk identik dengan coding strand kecuali T diganti U. RNA Splicing ( RNA processing, post-transcriptional modification). RNA primer yang terbentuk (pre-mRNA) memerlukan beberapa seri modifikasi untuk menjadi mRNA matang, 5’capping, 3’cleavage dan polyadenylation. RNA splicing adalah reaksi yang melepaskan intron dan menggabungkan exon yang bertetangga. Pada proses translation, pada beberapa non-coding RNA, mature RNA adalah menjadi produk akhir, tapi mRNA membawa satu untaian (single sequence) kode untuk sintesa protein. Setiap codon pada mRNA akan berikatan dengan anticodon pada tRNA yang membawa satu asam amino. Ribosom akan membantu tRNA berikatan dengan mRNA dan mengambil setiap asam amino dan merangkai menjadi protein sesuai urutan yang ada pada mRNA. Folding adalah suatu proses dimana rantai polipeptida selanjutnya melipat dan membentuk sebuah struktur tiga dimensi yang benar. Tidak melipat atau salah melipat (unfolded/misfolded) menyebabkan protein tersebut tidak aktif atau bersifat toksik. 
Fungsi galectin-3 terutama berhubungan dengan lokasi dimana struktur ini berada, proses glikosilasi yang terjadi dan jenis glycan ligands yang terikat (Lepur, 2012; Cummings dan Liu, 2009). Galectin-3, jika berada dalam sitoplasma akan berfungsi melindungi sel dari apoptosis (exhibits antiapoptotic activity), sedangkan jika berada pada ekstrasel akan menginduksi apoptosis (Davidson et al., 2006; Stillman et al., 2006; Suzuki dan Abe M, 2008).
Efek antiapoptosis ini terjadi melalui reaksi fosforilasi pada N-terminal atau ikatan dengan glycan ligands Bcl-2 (Lepur, 2012). Davidson dkk melaporkan, adanya penumpukan galectin-3 dalam sitoplasma, akibat gagalnya mekanisme import galectin-3 ke intisel berhubungan dengan efek antiapoptosis galectin-3, seperti jelas terlihat pada perkembangan mukosa mulai dari normal menjadi adenoma selanjutnya berkembang menjadi karsinoma (Davidson et al., 2006). Sebaliknya jika galectin-3 berada diluar sel akan meng-induksi terjadinya apoptosis melalui reaksi glikosilasi galectin-3 dengan permukaan sel (Cooper dan Barondes, 1999; Stillman et al., 2006; Suzuki dan Abe, 2008; Lepur, 2012). 
Glikosilasi yang menginduksi apoptosis ini, melibatkan CD71 dan CD45 (Cummings dan Liu, 2009) atau CD95 sebagai glycan ligands (Fukumori et al.,2004). Proses glikosilasi dapat diaktifkan maupun dihambat oleh sialic acid. Proses ikatan sialic acid dengan galectin-3 disebut sialylation. Sialylation berfungsi sebagai on-off switch affinitas galectin-3 terhadap glycan ligands. Selain sialylation, on-off switch pada gelectin-3 terjadi akibat adanya fosforilasi pada N-terminal Ser (Mazurek et al., 2000; Lepur, 2012). Pada kondisi switch off, terjadi hambatan galectin-3 untuk menginduksi apoptosis seperti yang terjadi pada kondisi keganasan (Lepur, 2012).
Glycan ligands yang terikat pada galectin-3 dengan cara glikosilasi, selain berperan pada apoptosis, juga berperan pada adhesi sel, receptor turnover, interaksi dengan patogen dan intracellular trafficking (Lepur, 2012). Fungsi lainnya adalah menyokong respons imun dan radang seperti inhibisi produksi IL-5 (antiinflamatory cytokines), aktivasi sel mast, netrofil dan monosit dan membantu sintesis dan sekresi radikal bebas seperti reactive oxygen species (Cummings dan Liu, 2009). Beberapa glycan ligands galectin-3 dalam sel adalah Bcl-2, Fas Reseptor (CD95), synexin dan Alg-2 (Cummings dan Liu, 2009). Selain itu ligands galectin-3 lain, laminin dan fibronectin, jika teraktivasi  oleh galectin-3 menginduksi proses krusial dalam proses epithelial to mesenchymal transition (EMT) dimana sel tumor mandapatkan sifat invasive dan potensi metastase (Nangia-Makker et al., 2002; Takenaka et al., 2004).
Penelitian Honjo dkk pada karsinoma lidah mendukung hal diatas, dimana ditemukan peningkatan ekspresi galectin-3 pada sitoplasma dan adanya hambatan apoptosis (Honjo et al., 2000). Hambatan apoptosis juga terjadi akibat adanya substans tumor yang menghambat proses glikosilasi galectin-3 ekstrasel (Abe dan Suzuki, 2007). Fukumori dkk menunjukkan dalam penelitiannya melalui kultur sel, bahwa galectin-3 yang berikatan dengan CD95 menghambat terjadinya apoptosis melalui hambatan pada jalur signal caspase-8. CD95 adalah salah satu reseptor yang menginduksi terjadinya apoptosis melalui dua jalur signal tergantung tipe sel, yaitu tipe sel dengan jalur caspase-8 dan tipe sel dengan jalur mitokondria. Fukumori mengusulkan bahwa dalam strategi terapi melalui CD95 perlu melibatkan galectin-3 (Fukumori et al., 2004).
Peran galectin-3 pada proses metastase juga banyak dilaporkan (Piantelli et al., 2002; John et al., 2003; Takenaka et al., 2004). John dkk dalam penelitiannya, memberikan injeksi recombinant galectin-3 (galectin-3C) yang dipotong terminal NH2 pada tikus yang diimplantasi sel-sel kanker payudara, menunjukkan adanya penurunan kejadian metastase, disamping itu tumor mengecil sampai terjadinya regresi (John et al., 2003). Zhao dkk. menyatakan bahwa ikatan galectin-3 serum dengan sel tumor menyebabkan terbukanya protective shield pada sel tumor dan memudahkan terjadinya adhesi sel tumor dengan sel endotel pembuluh darah (tumor-endothelial cell interaction) (Zhao et al., 2009). Selain itu adhesi ini terjadi akibat adanya ikatan antara antigen T (Thomsen-Friedenreich antigen) pada permukaan sel tumor dengan galectin-3 pada permukaan sel endotel (Glinsky VV et al., 2001). 
Tumor-endothelial cell interaction ini menunjang teori Al Mehdi dkk. tentang metastase. Dari sejumlah sel tumor yang masuk sirkulasi hanya sebesar 0,01% yang selamat dan berkembang menjadi foki metastase. Umumnya sel tumor dalam sirkulasi rusak oleh sistem imun dan gerakan hemodinamik (Luzzi KJ et al., 1998). Al Mehdi dkk. menjelaskan bahwa sel tumor yang selamat didalam sirkulasi, akan melekat pada sel endotel, berproliferasi intravascular dan membentuk string dalam kapiler. Dengan berjalannya waktu tumor akan membesar, merusak dinding pembuluh darah dan bertumbuh dalam target organ. Dalam hal ini tidak ditemukan adanya trapping maupun ekstravasasi tumor. Pendapat ini dikemukakan setelah mengamati proses metastase menggunakan mikroskop epifluorescence. Dikatakan bahwa sel tumor yang mengalami ekstravasasi, sangat cepat dibersihkan oleh sel-sel parenkim tidak lebih dari 48 jam. Hal-hal yang diamati adalah, tidak ditemukan adanya trapping sel tumor oleh karena lumen kapiler jauh lebih besar dari sel tumor dan dalam proses adhesi ini juga tidak ditemukan keterlibatan platelet atau element darah lainnya (Al Mehdi et al., 2000). Kunci dari proses ini adalah interaksi antara sel tumor dan sel endotel (tumor-endothelial cell interaction) (Al Mehdi et al., 2000). Interaksi T antigen-galectin-3 dapat menjadi target terapi dalam menemukan terapi anti adhesive cancer (Glinsky VV et al., 2001; John CM et al., 2003).
Peran lain galectin-3 pada proses keganasan adalah menginduksi terjadinya angiogenesis (Nangia-Makker et al., 2000; Pietro et al., 2006; Tsuboi et al., 2007; Miranda et al. 2009). Angiogenesis dan pertumbuhan kapiler baru dalam tumor merupakan faktor utama yang menunjang kelangsungan hidup sel tumor dan merupakan pintu gerbang metastase. Tiga kelompok signal ekstrasel yang menstimulasi terjadinya angiogenesis adalah: soluble growth molecules seperti acid fibroblast growth factors (aFGF), basic fibroblast growth factors (bFGF) dan vascular endothelial growth factors VEGF), mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel endotel. Transforming growth factor β (TGFβ) dan angiogenin menghambat proliferasi endotel. Berbagai sitokin yang dilepas melalui proteolisis, yang terikat pada matriks ekstrasel meningkatkan proliferasi. Sebagai tambahan faktor diatas diketahui juga bahwa ada suatu bahan larut, berupa protein pengikat karbohidrat seperti E-selectin, vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan P-selectin menstimulasi migrasi dan morfogenesis endotel jika terjadi ikatan dengan ligand glycoconjugate.
Nangia-Makker dkk dalam penelitiannya menunjukan bahwa fungsi E-selectin dapat diganti oleh galectin-3 sehingga migrasi, morfogenesis dan angiogenesis tetap berlangsung. Proses ini dapat dihambat dengan pemberian anti-galectin-3 polyclonal antibody atau MCP (modified Citrus Pectin) yang secara kompetitif berikatan dengan galectin-3. Penelitian fungsi galectin-3 ini dibuktikan secara in-vitro maupun in-vivo. Galectin-3 disekresi dalam matriks ekstrasel (ECM) oleh sel tumor dan makrofag, terutama saat monosit berdiferensiasi menjadi makrofag. MCP yang diberikan secara injeksi atau per oral berfungsi sebagai ligand terhadap galectin-3, dan secara bermakna menghambat angiogenesis, pertumbuhan dan metastase tumor (Nangia-Makker et al., 2002).
Laporan hubungan galectin-3 dengan berbagai proses keganasan telah banyak dilaporkan. Saussez dkk. meneliti 137 kasus karsinoma kepala leher dengan membandingkannya dengan epitel normal, displasia ringan dan displasia tinggi. Saussez menemukan adanya progresifitas ekspresi galectin-3 mulai dari sel epitel normal, displasia ringan, displasia berat dan kemudian sel kanker (Saussez et al., 2008). Pietro dkk juga melaporkan adanya hubungan erat antara tingkat ekspresi galectin-3 dengan stadium klinis melanoma maligna (Prieto et al., 2006; Vereecken et al., 2007). Sedangkan Choi dkk. melaporkan, tingkat ekspresi galectin-3 berhubungan dengan stadium tumor (T-stage) dan nodal status, sehingga galectin-3 dapat menjadi faktor prognostik untuk karsinoma sel skuamous di laring (Choi et al., 2010; Cay, 2012). Hasil penelitian Shibata dkk. pada karsinoma sel skuamous esophagus menunjukan adanya peningkatan ekspresi galectin-3 dalam inti sel, dimana peningkatan ini berhubungan dengan kejadian invasi pembuluh darah dan derajat diferensiasi sel tumor. Dikatakan bahwa peningkatan ekspresi galectin-3 dalam sitoplasma tidak berkorelasi dengan kedua hal tersebut (Shibata et al., 2005). 
Tidak semua studi tentang galectin-3 menunjukan adanya peningkatan ekspresi, beberapa peneliti menemukan kebalikannya, yaitu adanya penurunan ekspresi galectin-3 pada karsinoma ovarium, uterus dan payudara (Takenaka et al., 2004). Pada karsinoma kolon bahkan terdapat perbedaan hasil penelitian, beberapa peneliti mendapatkan adanya peningkatan ekspresi sedangkan peneliti lain menemukan terjadi penurunan ekspresi galectin-3 (Honjo et al., 2000). Penelitian yang berbeda dilakukan Eude-Le Parco dkk. dimana dilakukan manipulasi genetik pada tikus, sehingga terdapat tikus yang bisa memproduksi galectin-3 (galectin-3+/+) dan tikus yang tidak bisa memproduksi galectin-3 (Galectin-3-/-). Kedua kelompok ini kemudian diinduksi kanker, menyerupai karsinoma kolon dan rektum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, baik pada inisiasi proses keganasan, derajat histologi maupun metastase tidak ditemukan adanya peran galectin-3. Eude-Le Parco dkk. menyimpulkan, kemungkinan galectin-3 tidak berperan pada kanker seperti pada kanker pada penelitian ini (Eude-Le Parco et al., 2009). 
Vereecken dkk. menekankan bahwa dalam mengamati ekspresi galectin-3 yang dihubungkan dengan proses keganasan harus dilakukan dengan hati-hati oleh karena adanya variasi ekspresi galectin-3 tergantung lokasi pemeriksaan, apakah inti sel, sitoplasma atau ekstrasel (Vereecken et al., 2007). 













BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN
  1. Kerangka Konseptual


                 pastedGraphic_9.png

  1. Hipotesis
Ekspresi Galectin-3 berhubungan dengan agresifitas karsinoma rongga mulut yang ditandai dengan derajat histopatologis yang tinggi (G3 dan G4) atau besar tumor primer melebihi 4cm atau adanya metastase ke KGB regional atau metastase jauh.



BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah tingkat ekspresi galectin-3 berkorelasi dengan tingkat agresifitas karsinoma sel skuamosa rongga mulut. Rancangan penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional.
4.2. Populasi dan Sampel
4.2.1. Populasi
Populasi penelitian adalah semua blok parafin pasien karsinoma sel skuamosa rongga mulut yang tersimpan di Laboratorium Patologi Anatomi RS Dr. Soetomo Surabaya dari tahun 2010 s/d tahun 2012.
4.2.2. Sampel
Sampel penelitian adalah semua blok parafin pasien karsinoma rongga mulut di Laboratorium Patologi Anatomi RSU Dr. Soetomo Surabaya dari tahun 2010 s/d tahun 2012 yang bisa dilakukan pemeriksaan galectin-3. 
4.2.3. Besar Sampel
Karena kasus karsinoma sel skuamosa rongga jarang dan tidak semua blok parafin memenuhi syarat pemeriksaan galectin-3, maka diambil secara keseluruhan(total sampling). Besar sampel yang diteliti sebesar 30 spesimen.


4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.3.1. Lokasi
Penelitian dilakukan di Bagian/SMF Ilmu Bedah dan Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU Dr. Soetomo Surabaya.
4.3.2. Waktu Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian selama 4 bulan sejak bulan September 2012 sampai bulan Desember 2012.
4.4. Variabel Penelitian
Pada penelitian ini variabel yang diteliti adalah:
4.4.1. Variabel Independent
Ekspresi Galectin 3 pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut.
4.4.2. Variabel Dependent
Agresifitas karsinoma rongga mulut. 
4.5. Definisi Operasional
4.5.1. Galectin-3
Merupakan biomarker yang dapat berikatan dengan ß Peroksidase  yang merupakan glikoprotein sel dan dapat diidentifikasi pada inti dan sitoplasma sel dan diperiksa dengan cara imunohistokimia (IHC). Ekspresi dari galectin-3 ditunjukkan dengan skor sebagai berikut: negatif (-) bila ekspresi tidak meningkat, positif (+) bila ekspresi galectin-3 meningkat sedang dan positif 2 (++) bila ekspresi galectin-3 sangat meningkat atau ekspresi kuat.

4.5.2. Agresifitas Karsinoma Rongga Mulut
     4.5.2.1. Derajat Histopatologi:
G1 Well differentiated
G2 Moderately differentiated
G3 Poorly differentiated
G4 Undifferentiated
Derajat Rendah : G1 dan G2
Derajat Tinggi : G3 dan G4

4.5.2.2. Sistem TNM 
T: besar tumor 
N: adanya metastase ke KGB leher
M: adanya metastase ke paru
4.6. Cara Kerja
Prosedur pemeriksaan immunohistokimia galectin 3 mengikuti prosedur tetap cara pemeriksaan immunohistokmia 3 step dengan microwave mediated antigen retrieval untuk parafin. Ada beberapa tahapan :
  1. Deparafinisasi :
  1. Xylol : 3 kali 5 menit
  2. Alkohol absolut : 1 kali 5 menit
  3. Alkohol 96% : 1 kali 5 menit
  4. Alkohol 70% : 1 kali 5 menit
  1. Dicuci dengan tris ( hydroxymethyl aminomethan ) 2 kali masing-masing 3 menit.
  2. Dilakukan tahap microwave selama 10 menit dengan 10 mM sitrat buffer pH6.
  3. Dicuci dengan tris 2 kali masing-masing 3 menit.
  4. Dilakukan blocking dengan dual endogenous enzyme block (kit) pada suhu kamar.
  5. Dicuci dengan tris 2 kali masing-masing 3 menit.
  6. Ditetesi antibodi primer galectin-3Ab1 (Clone 9C4) human monoclonal antibody (scintific, USA) selama satu malam pada suhu 2-8oC .
  7. Dicuci dengan tris 2 kali masing-masing 3 menit.
  8. Ditetesi antibodi sekunder ( Labelled polymer HRP) selama 30 menit pada suhu kamar.
  9. Dicuci dengan tris 2 kali masing-masing 3 menit.
  10. Ditetesi larutan peroksidase DAB ( 3,3 diaminobenzidine tetrahydrochloride ) selama 5-10 menit pada suhu kamar.
  11. Dicuci dengan aquades 2 kali masing-masing 3 menit.
  12. Dilakukan counterstain dengan mayer haematoxylin selama 5 menit.
  13. Dilakukan dehidrasi kemudian mounting dengan enttelan (Xylene).










4.7. Alur Penelitian

pastedGraphic_10.png









4.8. Analisis Data
Pada tahap awal akan dilakukan analisa deskriptif. Tahap selanjutnya dilakukan uji dengan chi square untuk mengetahui apakah ada hubungan antara ekspresi galectin 3 dengan agresifitas karsinoma sel skuamosa rongga mulut. Apabila syarat chi square tidak terpenuhi, yaitu jumlah sel yang mempunyai nilai harapan kurang dari 5 tidak boleh lebih dari 20% jumlah sel, maka analisis data dilakukan menggunakan uji Fisher’s Exact. 

















BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Penelitian dimulai dengan penelusuran catatan medik penderita karsinoma rongga mulut di Divisi Bedah Kepala Leher/ SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Airlangga/ RSU Dr. Soetomo Surabaya selama kurun waktu tiga tahun sejak tahun 2010 sampai tahun 2012. Data ini kemudian disesuaikan dengan data dibagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSU Dr. Soetomo Surabaya. Didapatkan 30 spesimen karsinoma sel skuamosa rongga mulut. 
5.1.1. Distribusi Karsinoma Rongga Mulut Menurut Umur dan Jenis Kelamin
Dari total 30 spesimen karsinoma rongga mulut pada penelitian ini didapatkan paling banyak terdapat pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 76,7% dengan ratio laki dibanding perempuan  3:1. Rentang umur mulai dari 32 tahun sampai 72 tahun dan kelompok umur paling banyak diatas 50 tahun (66,6%).
Tabel 5.1. Distribusi Umur dan Jenis Kelamin Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut
pastedGraphic_11.png


5.1.2. Distribusi Agresifitas Karsinoma Rongga Mulut Berdasarkan Stadium Klinis dan Derajat Histopatologis
Secara histopatologis ditemukan well differentiated pada 29 spesimen (96,7%). Jumlah spesimen berdasarkan besar tumor sebanding antara T1,T2 dan T3,T4, masing-masing sebesar 50%. Jumlah spesimen berdasarkan adanya metastase pada KGB leher, ditemukan N negatif sebanyak 20 kasus (66,7%). Jumlah spesimen berdasarkan derajat histopatologi, besar tumor dan adanya metastase pada KGB leher, ditemukan agresifitas tinggi sebesar 57,7%. Hasil terperinci dapat dilihat pada tabel 5.2 sampai dengan tabel 5.5.
Tabel 5.2. Distribusi Agresifitas Karsinoma Rongga Mulut Berdasarkan                                                                                                                                                                 Derajat Histopatologis

pastedGraphic_12.png

Tabel 5.3. Distribusi Agresifitas Karsinoma Rongga Mulut Berdasarkan Besar Tumor
pastedGraphic_13.png

Tabel 5.4. Distribusi Agresifitas Karsinoma Rongga Mulut Berdasarkan Status KGB
pastedGraphic_14.png

Tabel 5.5. Distribusi Agresifitas Karsinoma Rongga Mulut Berdasarkan Derajat Histopatologi, Besar Tumor dan Status KGB
pastedGraphic_15.png

5.2. Ekspresi Galectin-3 pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut Ekspresi galectin-3 ditunjukkan dengan skor sebagai berikut: negatif (-) bila ekspresi tidak meningkat, positif (+) bila ekspresi galectin-3 meningkat sedang dan positif 2 (++) bila ekspresi galectin-3 sangat meningkat atau ekspresi sangat kuat. Dari keseluruhan spesimen, terdapat 2 spesimen (6,7%) spesimen dengan hasil negatif atau tidak meningkat, 28 spesimen (93,3%) menunjukan adanya peningkatan ekspresi galectin-3.
Tabel 5.6. Ekspresi Imunohistokimia galectin-3 pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut
pastedGraphic_16.png
5.2.1 Ekspresi Galectin-3 pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut Berdasarkan Derajat Histopatologi
Dari keseluruhan 29 spesimen dengan agresifitas rendah (G1), didapatkan 2 spesimen (6,9%) dengan ekspresi galectin-3 tidak meningkat atau negatif dan 27 spesimen (93,1%) menunjukkan adanya peningkatan ekspresi galectin-3. Spesimen dengan agresifitas tinggi (G3) terdapat pada 1 spesimen menunjukan ekspresi galectin-3 kuat (100%). 
Tabel 5.7. Ekspresi Imunohistokimia galectin-3 Karsinoma Rongga Mulut Berdasarkan Derajat Histopatologis

pastedGraphic_17.png

Hasil uji Fisher’s Exact didapatkan nilai signifikansi sebesar 1,000 (p>0,05) berarti tidak ada hubungan antara agresifitas berdasar derajat histopatologi dengan ekspresi galectin 3.
5.2.2. Ekspresi Galectin-3 pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut Berdasarkan Besar Tumor
Pada besar tumor T1 ditemukan 7 spesimen (87,5%) terjadi peningkatan ekspresi galectin-3, dimana 25% meningkat sedang dan 62,% sangat meningkat. Pada tumor T2 ditemukan 6 spesimen (85,7,5%) terjadi peningkatan, dimana 57,1% meningkat sedang dan 28,6,% meningkat kuat. Pada tumor T3 ditemukan seluruh spesimen terjadi peningkatan ekspresi galectin-3, dimana 3 spesimen (33,3%) meningkat sedang dan 6 spesimen (66,7%) sangat meningkat atau ekspresi kuat. Pada tumor T4 ditemukan seluruhnya terjadi peningkatan ekspresi galectin-3, dimana 4 spesimen (66,7%) meningkat sedang dan 2 spesimen (33,3%) meningkat kuat. Pada T1+T2 ditemukan 2 spesimen (13,3%) tidak meningkat, 6 spesimen (40%) meningkat sedang dan 7 spesimen (46,7%) sangat meningkat. Pada T3+T4 ditemukan seluruh spesimen meningkat dimana 7 spesimen (46,7%) meningkat sedang, dan 8 spesimen (53,3%) meningkat kuat. 
Tabel 5.8. Distribusi Agresifitas Karsinoma Rongga Mulut Berdasarkan Besar Tumor
pastedGraphic_18.png

Tabel 5.9. Distribusi Agresifitas Karsinoma Rongga Mulut Berdasarkan Besar Tumor T1+T2 dan T3+T4
pastedGraphic_19.png

Hasil uji Fisher’s Exact didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,462 (p>0,05) berarti tidak ada hubungan antara agresifitas berdasar berat tumor (stadium T) dengan ekspresi galectin 3.

5.2.3. Ekspresi Galectin-3 pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut Berdasarkan Metastase KGB leher
Berdasarkan status KGB leher, pada N0 ditemukan 1 spesimen (5,2%) tidak terjadi peningkatan ekspresi galectin-3, 42,1% meningkat dengan ekspresi sedang dan 52,7% menunjukkan ekspresi kuat. Pada N1 semuanya meningkat dimana 25% meningkat sedang, sedangkan 75% ekspresi meningkat kuat. Pada N2, 16,6% tidak tampak peningkatan ekspresi galectin-3, 50% meningkat sedang dan 33,3% ekspresi meningkat kuat. Pada N3 semua spesimen menunjukkan peningkatan ekspresi galectin-3, dimana seluruhnya 100% meningkat sedang. Pada status KGB leher berdasarkan N0 dan N+, didapatkan ekspresi galectin-3 sebagai berikut; pada N0 5,2% tidak terdapat peningkatan ekspresi galectin-3, 42,1% tampak meningkat dengan ekspresi sedang dan 52,7% meningkat dengan ekspresi kuat. Pada N+ 9,1% tidak tampak peningkatan ekspresi galectin-3. Ekspresi sedang tampak pada 45,45% spesimen dan ekspresi kuat juga pada 45,45% spesimen.






Tabel 5.10. Distribusi Agresifitas Karsinoma Rongga Mulut Berdasarkan Status KGB

pastedGraphic_20.png


Tabel 5.11. Distribusi Agresifitas Karsinoma Rongga Mulut Berdasarkan Status KGB N(-) dan N(+)
pastedGraphic_21.png

Hasil uji Fisher’s Exact didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,666 (p>0,05) berarti tidak ada hubungan antara agresifitas berdasar status KGB (nodal status) dengan ekspresi galectin 3.


5.2.4. Ekspresi Galectin-3 pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut Berdasarkan Derajat Histopatologi, Besar tumor dan Metastase KGB leher
Berdasarkan derajat histopatologi, besar tumor (stadium T) dan metastase KGB leher (nodal status), ditemukan ekspresi galectin-3 sebagai berikut: pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut dengan agresifitas rendah, 7,7% tidak ada peningkatan ekspresi galectin-3,ekspresi sedang pada 38,5% spesimen dan peningkatan dengan ekspresi kuat pada 53,8% spesimen Pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut dengan agresifitas tinggi ditemukan 5,9% tidak ada peningkatan ekspresi galectin-3, peningkatan dengan ekspresi sedang pada 47,05% spesimen dan peningkatan dengan ekspresi kuat pada 47,05% spesimen.
Tabel 5.12. Distribusi Agresifitas Karsinoma Rongga Mulut Berdasarkan Derajat Histopatologi, Besar Tumor dan Status KGB

pastedGraphic_22.png

Hasil uji Fisher’s Exact didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,857 (p>0,05) berarti tidak ada hubungan antara agresifitas berdasar derajat histopatologi, besar tumor dan status KGB dengan ekspresi galectin 3.





pastedGraphic_23.png
Gambar 1. Pembesaran 40x pada jaringan normal, ekspresi galectin-3(-)

pastedGraphic_24.png
Gambar 2. Pembesaran 20x pada karsinoma sel skuamosa ekspresi galectin-3(-)

pastedGraphic_25.png

Gambar 3. Pembesaran 40x pada jaringan tumor dengan ekspresi galectin-3(+) 

pastedGraphic_26.png
Gambar 4. Pembesaran 12,5x pada jaringan tumor dengan ekspresi galectin-3(++)



pastedGraphic_27.png
Gambar 5. Pembesaran 200x pada jaringan tumor dengan ekspresi galectin-3 (-)
pastedGraphic_28.png
Gambar 6. Pembesaran 200x pada jaringan tumor dengan ekspresi galectin-3 (+)


pastedGraphic_29.png
Gambar 7. Pembesaran 200x pada jaringan tumor dengan ekspresi galectin-3(++)

pastedGraphic_30.png
Gambar 8. Pembesaran 400x pada jaringan tumor dengan ekspresi galectin-3 (-)



pastedGraphic_31.png
Gambar 9. Pembesaran 400x jaringan tumor dengan ekspresi galectin-3 (+)

pastedGraphic_32.png
Gambar 10. Pembesaran 400x jaringan tumor dengan ekspresi galectin-3 (++)



5.3. Pembahasan
5.3.1. Gambaran Umum Hasil Penelitian
Pada penelitian ini kami dapatkan 30 spesimen karsinoma sel skuamosa rongga mulut yang dikumpulkan sejak tahun 2010 sampai tahun 2012. Jumlah ini tidak mencerminkan total jumlah kasus yang dirawat dibagian Bedah Kepala Leher RSU Dr. Soetomo, oleh karena tidak semua kasus memiliki blok parafin. Sebagian kasus data patologis terbatas pada sediaan sitologi dan sebagian kasus yang memilki blok paraffin tapi tidak memenuhi syarat pemeriksaan imunohistokimia. 
Secara umum dari 30 spesimen ini adalah spesimen dari penderita karsinoma sel skuamosa rongga mulut dengan rata-rata umur 53 tahun, dengan ratio antara laki-laki dan perempuan sebesar 3:1. Data ini sesuai banyak kepustakaan bahwa karsinoma sel skuamosa rongga mulut memang lebih banyak pada laki-laki diatas 40 tahun (Farah et al., 2012). Keadaan ini banyak dihubungkan dengan faktor resiko seperti konsumsi alkohol, tembakau (smoke/smokeless), dan betel quid (Balfour et al., 2009). Pada kasus-kasus dengan umur yang lebih muda dibawah 40-45 tahun lebih sering dihubungkan dengan infeksi human papillomavirus (Farah et al., 2012).
Lebih dari 50% sampel yang ada menunjukan sudah stadium III dan dan IV, adanya pembesaran KGB leher terdapat pada 33,3% kasus, dan besar tumor pada T3 dan T4 terdapat pada 50% kasus. Seperti yang dilaporkan Bittar dkk, bahwa 53,16 % kasus karsinoma rongga mulut sering didiagnosa sudah diatas stadium III (Bittar et al., 2010).

5.3.2. Ekspresi Galectin-3 pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut 
Ekspresi galectin-3 pada penelitian ini ditentukan secara kualitatif oleh seorang ahli patologi dengan nilai negatif (-), positif 1 (+) dan positif 2 (++). Lokasi ekspresi galectin-3  yang dinilai adalah dalam sitoplasma. Hasil penelitian ini menunjukkan 28 spesimen dari 30 (93,3%) terjadi peningkatan ekspresi galectin-3, apakah sedang atau tinggi (+ dan ++). Hasil ini umumnya sama dengan banyak penelitian lain. Pada penelitian Honjo dkk dalam penelitian pada 54 spesimen karsinoma sel skuamosa lidah mendapatkan 84,9% terjadi peningkatan ekspresi galectin-3 (Honjo et al., 2000). Miranda dkk dalam penelitian pada 65 pasien dengan karsinoma laring menemukan 55 (84,6%) terjadi peningkatan ekspresi galectn-3 yang bermakna (Miranda et al., 2009). Shibata dkk menemukan 46,5% dari 154 pasien terjadi peningkatan ekspresi galecton-3 (Shibata et al., 2005). Tadbir dkk menunjukkan bahwa konsentrasi galectin-3 serum meningkat pada sebagian besar kasus karsinoma sel skuamosa rongga mulut (Tadbir et al., 2010).
5.3.3. Ekspresi Galectin-3 pada Agresifitas Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut 
Agresifitas karsinoma rongga mulut yang masuk pada penelitian adalah derajat histopatologi, besar tumor dan status KGB. Uji statistik yang dilakukan pada penelitian ini, tidak menemukan adanya korelasi antara tingkat ekspresi galectin-3 dengan agresifitas karsinoma sel skuamosa rongga mulut. Hasil uji Fisher’s Exact berdasarkan derajat histopatologi didapatkan nilai signifikansi sebesar 1,000 (p>0,05), berdasarkan besar tumor (stadium T) didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,462 (p>0,05), berdasarkan status KGB (nodal status) didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,666 (p>0,05) dan berdasarkan derajat histopatologi, besar tumor dan status KGB didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,857 (p>0,05). Semua uji ini menunjukan tidak ada hubungan agresifitas karsinoma rongga mulut dengan tingkat ekspresi galectin 3.
Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Honjo dkk, dimana peningkatan ekspresi galectin-3 tidak berhubungan dengan derajat histopatologi, besar tumor maupun status KGB regional. Akan tetapi dalam follow-up selama 10 tahun setelah terapi awal, Honjo dkk menemukan bahwa survival rate maupun disease-free survival rate jauh lebih baik pada pasien dengan ekspresi galectin-3 yang rendah (Honjo et al., 2000). Demikian juga penelitian Shibata dkk, menunjukkan bahwa ekspresi galectin-3 dalam sitoplasma tidak berhubungan dengan faktor klinikopatologi, tapi ekspresi dalam intisel berhubungan dengan derajat diferensiasi histologis (Shibata et al., 2005). Tadbir dkk dalam penelitiannya menunjukkan peningkatan konsentrasi galectin-3 serum tidak berhubungan dengan gambaran klinikopatologi karsinoma sel skuamosa rongga mulut (Tadbir et al.,2010). 
Walaupun demikian, beberapa penelitian lain menunjukkan adanya hubungan antara ekspresi galectin-3 dengan agresifitas proses keganasan. Miranda dkk dalam penelitiannya pada 65 pasien dengan karsinoma laring, menunjukkan peningkatan ekspresi galectin-3 berhubungan dengan karsinoma laring yang bersifat invasif (Miranda et al., 2009). Hasil yang sama juga ditemukan oleh Choi dkk (Choi et al., 2010). Penelitian Saussez pada 137 kasus karsinoma kepala leher menemukan bahwa, peningkatan ekspresi galectin-3 secara bertahap terutama dalam inti sel berhubungan dengan progresifitas tumor, mulai dari epitel normal, displasia ringan, displasia berat dan paling tinggi pada jaringan tumor (Saussez et al., 2008). Choufani dkk dalam penelitiannya bahkan mendapat hasil yang terbalik dimana pada kasus-kasus keganasan kepala leher yang agresif cenderung terjadi penurunan ekspresi galectin-3 dan ligandnya, dibanding jaringan normal (Choufani et al., 1999). Penelitian Choufani dkk. diikuti oleh Piantelli dkk, dengan hasil yang sama (Piantelli et al., 2002).
Adanya perbedaan ini terjadi dengan berbagai sebab, antara lain adanya perbedaan penggunaan antibodi galectin-3, apakah monoklonal atau poliklonal. Monoklonal antibodi hanya bisa mengenal molekul galectin-3 yang utuh, sedangkan poliklonal antibodi dapat mengenal galectin-3 utuh maupun yang terbelah (balan et al., 2010). Pembelahan ini tergantung pada ada tidaknya polimorfisme nukleotida tunggal (SNP: single nucleotide polymorphism) pada gen galectin-3 (rs4644). SNP ini ditemukan pada 5% sampai 12% populasi Asia maupun Kaukasia (Balan et al., 2010). Pada penelitian ini menggunakan mouse monoclonal antibody (Clone 9C4). Perbedaan lain mencakup cara penilaian apakah kualitatif atau kuantitatif, lokasi galectin-3 apakah serum, ekstrasel, sitoplasma ataupun intrasel (Cay, 2012).  Demikian juga peralatan yang digunakan bisa manual atau komputerisasi (Media-Cybernetics), misalnya penggunaan mikroskop cahaya, fluorescence microscopy, kamera digital resolusi tinggi, software khusus (Stillman et al., 2006; Miranda et al., 2009).
Sampai saat ini penelitian tentang galectin-3 tetap berlanjut, bukan saja hubungan secara diagnostik atau nilai prognostik tapi juga nilai terapeutik seperti pemberian anti-galectin-3 polyclonal antibody atau MCP (modified Citrus Pectin) yang terbukti bisa menghambat progresifitas tumor melalui hambatan migrasi dan morfogenesis endotel (Nangia-Makker et al., 2000). Demikian juga pemberian recombinant galectin-3 yang dimodifikasi ternyata dapat menghambat ikatan antigen T (Thomsen-Friedenreich antigen) dari sel tumor dengan galectin-3 pada permukaan sel endotel. Demikian juga, recombinant galectin-3C dapat berfungsi anti galectin-3 dan dapat menjadi target terapi dalam menemukan terapi antiadhesive cancer (Glinsky VV et al., 2001; John CM et al., 2003).













BAB VI
RINGKASAN
Telah dilakukan penelitian korelasi antara ekspresi galectin-3 sitoplasma dengan grade dan metastase karsinoma rongga mulut. Hipotesa yang diuji adalah apakah ekspresi galectin-3 sitoplasma mempunyai korelasi dengan agresifitas karsinoma rongga mulut. Penelitian ini dilakukan dari bulan September 2012 sampai Desember 2012 di Bagian/SMF Ilmu Bedah dan Bagian/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU Dr. Soetomo Surabaya.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel yang ditemukan sebanyak 30 sampel berupa blok parafin jaringan karsinoma sel skuamosa rongga mulut. Keseluruhan sampel dilakukan pengecatan imunohistokimia dengan menggunakan monoklonal antibodi galectin-3 untuk melihat ekspresi galectin-3 sitoplasma. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji Fisher’s Exact.
Dari hasil penelitian ini didapatkan peningkatan ekspresi galectin-3 pada 93,3% spesimen, tidak menunjukkan adanya korelasi dengan agresifitas karsinoma sel skuamosa rongga mulut, baik terhadap derajat histopatologis, stadium tumor maupun status KGB regional. Melalui uji Fisher’s Exact didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,857 (p>0,05), berarti tidak ada hubungan antara agresifitas dengan ekspresi galectin-3.


BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan :
  1. Ekspresi galectin-3 dapat menjadi biomarker dalam menentukan karsinoma rongga mulut.
  2. Tingkat ekspresi galectin-3 tidak berhubungan dengan derajat diferensiasi sel tumor, besar tumor maupun status KGB regional.
  3. Tingkat ekspresi galectin-3 yang rendah pada stadium dini mungkin berhubungan dengan survival rates yang tinggi.
  4. Tingkat ekspresi galectin-3 yang tinggi pada stadium dini mungkin berhubungan dengan survival rates yang rendah.
Saran
  1. Perlu penelitian lanjutan dan jangka panjang untuk melihat survival rates pada pasien-pasien dengan ekspresi galectin-3 rendah maupun tinggi.
  2. Penelitian lanjutan perlu metodologi penelitian dengan cara kualitatif dan kuantitatif.
  3. Diharapkan adanya penelitian mengenai anti-galectin-3 dimasa depan.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

  1. ACS (American Cancer Society). Cancer Facts & Figures 2012 Special Section: Cancer with Increasing Incidence Trends in the US: 1999-2008. ACS 2012. 
  2. Al Mehdi AB, Tozawa K, Fisher AB, Shientag L, Lee A, Muschel RJ. Intravascular origin of metastasis from the proliferation of endothelium-attached tumor cells: a new model for metastasis. Nat. Med., 6: 100–102, 2000.
  3. Balan V, Nangia-Makker P, Raz A. Galectins as Cancer Biomarkers. Cancers;2;592-610; 2010.
  4. Balfour A, Evans PHR, Patel SG. Head and Neck Malignancy: An Overview in: Principles and Practice of Head and Neck Surgery and Oncology, 2nd.ed(1)1-11; Informa Healthcare 2009.
  5. Bhuvaneswari R, Olivo M, Yuen GY, Chee SK. Photodynamic Therapy in Combination with Antiangiogenic Approaches Improve Tumor Inhibition in: Current Cancer Treatment – Novel Beyond Conventional Approaches;23;489-518; InTech 2011.
  6. Bittar TO, Paranhos LR, Fornazari DH, Pereira AC. Epidemiological features of oral cancer-a world public health matter.,pjaneiro/abril;15;1;87-93; 2010
  7. Bolesina N, Femopase FL, Lopez de Blanc SA, Morelatto RA, Olmos MA. Oral Squamous Cell carcinoma Clinical Aspects in: Oral Cancer ed. Ogbureke KUE.;2;21-41; InTech 2012.
  8. Braakhuis BJM, Tabor MP, Kummer JA, Leemans CR, Brakenhoff RH. A Genetic Explanation of Slaughter’s Concept of Field Cancerization: Evidence and Clinical Implications. Cancer Research;63;1727-1730; 2003.
  9. Cay T. Immunohistochemical Expression of Galectin-3 in Cancer: A Review of the Literature. Turkish Journal of Pathology;28;1; 2012.
  10. Celetti A, Merolla F, Luise C. Siano M, Staibano S. Novel Markers for Diagnosis and Prognosis of Oral Intraepithelial Neoplasia in Intraepithelial Neoplasma.;1;1;4-20; InTech 2012. 
  11. Centelas PB, Seoane-Romero JM, Gomez I.  Timing of Oral Cancer Diagnosis:Implications for Prognosis and Survival in: Oral Cancer ed. Ogbureke KUE.;9;173-188; InTech 2012.
  12. Chang S, Ha P. Biology of Head and Neck Cancer in: Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery 5th.;96;1015-1029; Mosby-Elsevier 2010.
  13. Chiang CT, Chang TK, Lian IB, Su CC, Tsai KY, Hwang YH. Environmental Factors Identified in the Etiology of Oral Cancer in Taiwan in: Oral Cancer ed. Ogbureke KUE.;6;123-124; InTech 2012.
  14. Choi JY, Cho SI, Do NY, Kang CY, Lim SC. Clinical significance of the expression of galectin-3 and Pim-1 in laryngeal squamous cell carcinoma. J Otolaryngol Head Neck Surg;39(1);28-34; 2010.
  15. Choufani G, Nagy N, Saussez S, Marchant H, Bisschop P, Burchert M, Danguy A, Louryan S, Salmon I, Gabius HJ, Kiss R, Hassid S. The Levels of Expression of Galectin-1, Galectin-3 and the Thomsen-Friedenreich Antigen and Their Binding Sites Decrease as Clinical Aggressiveness Increases in Head and Neck Cancer. Cancer;86;11;2353-2363; 1999.
  16. Cohen EEW, Stenson KM, Milano M, Vokes EE. Head and Neck Cancer in: Oncology An Evidance-Base Approach;528-539; Springer 2006.
  17. Conoyer JM,  and James L Netterville JL. Oropharynx in: Texbook in Surgical Oncology.;II;8;61-76; Informa 2007.
  18. Cooper DNW, Barondes SH. God must love galectins; He made so many of them. Glycobiology;9;979-984; 1999.
  19. Cummings RD, Liu F. Galectins. Essentials of Glycobiology. 2nd ed;33; Cold Spring Harbor Laboratory Press 2009.
  20. Dakubo GD, Jakupciak JP, Birch-Machin MA, Parr RL. Clinical implications and utility of field cancerization. Cancer Cell International;7;2; 2007.
  21. Davidson PJ, Li S, Lohse AG, Vandergaast RV, Verde E, Pearson A, Patterson RJ, Wang JL, Arnoys EJ. Transport of galectin-3 between the nucleus and cytoplasm. I. Conditions and signals for nuclear import. Glycobiology;16;7;602-611; 2006.
  22. Divisi Bedah Kepala Leher Departemen/SMF Ilmu Bedah FK Unair/ RSUD Dr. Soetomo. Pedoman Pengelolaan Penderita Bedah Kepala Leher. Edisi Ketiga; Surabaya 2009.
  23. D’souza G, Gillison ML. Head and Neck Squamous Cell Cancers in the Nonsmoker-Nondrinker in: Squamous Cell Head and Neck Cancer: Recent Clinical Progress and Prospects for the Future.;1;1-26; Humana Press 2005.
  24. Eude-Le Parco I, Gendronneau G, Dang T, Delacour D, Thijssen VL, Edelmann W, Peuchmaur M, Poirier F. Genetic assessment of the importance of galectin-3 in cancer initiation, progression and dissemination in mice. Glycobiology;19;1;68-75; 2009.
  25. Farah CS, Ford PJ, Allen K, Vu A, McCullough MJ. Oral Cancer and Potentially Cancerous Lesions-Early Detection and Diagnosis. in: Oral Cancer ed. Ogbureke KUE.;5;79-99; InTech 2012.
  26. Feller L. Lemmer J. Cell Transformation and the Evolution of a Field of Precancerization As It Relates to Oral Leukoplakia. International Journal of Dentistry; 2011.
  27. Feller L, Lemmer J. Oral Squamous Cell Carcinoma: Epidemiology, Clinical Presentation and Treatment. Journal of Cancer Therapy,3, 263-268; 2012.
  28. Fukumori T, Takenaka Y, Oka N, Yoshii T, Hogan V, Inohara H, Kanayama H, Kim HC, Raz A. Endogenous Galectin-3 Determines the Routing of CD95 Apoptotic Signaling Pathways. Cancer Research;64;3376-3379; 2004. 
  29. Ganly I, Ibrahimpasic T, Patel SG, Shah JP. Tumors of the Oral Cavity in: Principles and Practice of Head and Neck Surgery and Oncology, 2nd.ed(11)160-181; Informa Healthcare 2009.
  30. Ganly I, Tay HN, Patel SG, Shaha A, Shah JP. Management of the Neck in: Principles and Practice of Head and Neck Surgery and Oncology, 2nd.ed(15)291-310; Informa Healthcare 2009.
  31. Gavilan J, Herranz J, DeSanto LW, Gavilan C. Functional and Selective Neck Dissection. Thieme 2002.
  32. Glinsky VV, Glinsky G V, Rittenhouse-Olson K, Huflejt ME, Glinskii OV, Deutscher SL, Quinn TP. The role of Thomsen-Friedenreich antigen in adhesion of human breast and prostate
  33. cancer cells to the endothelium. Cancer Res., 61: 4851–4857, 2001.
  34. Greene FL, Carolyn CC, Fritz AG, Shah JP, Winchester DP. AJCC Cancer Staging Atlas. Springer 2006.
  35. Honjo Y, Inohara H, Akahani S, Yoshii T, Takenaka Y, Yoshida J, Hattori K, Tomiyama Y, Raz A, Kubo T. Expression of Cytoplasmic Galectin-3 as a Prognostic Marker in Tongue Carcinoma. Clin Cancer Res;6:4635-4640; 2000.
  36. Ichwan SJA, Bakhtiar MT, Ohtani K, Ikeda M. Therapeutic Targeting of p53-Mediated Apoptosis Pathway in Head and Neck Squamous Cell Carcinoma: Current Progress and Challengers in Tumor Suppressor Genes;6;129-144; InTech 2012. 
  37. Inohara H, Honjo Y, Yoshii T, Akahani S, Yoshida J, Hattori K,Okamoto S, Sawada T, Raz A and Kubo T: Expression of galectin-3 in fine-needle aspirates as a diagnostic marker differentiating benign from malignant thyroid neoplasms. Cancer 85: 2475-2484, 1999.
  38. Iurisci I, Tinari N, Natoli C, Angelucci D, Cianchetti E, Iacobelli S. Concentration of Galectin-3 in the Sera of Normal controls and Cancer Patients. Clinical Cancer Research;6;1389-1393; 2000.
  39. Jerjes W, Hamdoon Z, Hopper C. Photodynamic therapy in the management of potentially malignant and malignant oral disorders. Head & Neck Oncology;4;16; 2012.
  40. John CM, Leffler H, Kahl-Knutsson B, Svensson I, Jarvis GA. Truncated Galectin-3 Inhibits Tumor Growth and Metastasis in Orthotopic Nude Mouse Model of Human Breast Cancer. Clinical Cancer Research;9; 2374-2383; 2003.
  41. Kraus DH, Joe JK. Neoplasms of the Oral Cavity and Oropharynx in: Ballenger’s Otorhinolaringology Head and Neck Surgery 16th.ed(61)1408-1435; BC Decker Inc. 2003.
  42. Krishna R, Liff J, Chen A, Eke P, Robison V. Racial Differences in Factors That Influence Survival With Oral Cancer in Georgia: 1978-2001. CDC;2;2;2005.
  43. Lepur A. Functional properties of galectin-3 Beyond the sugar binding. Doctoral Dissertation Series, Faculty of Medicine, Lund University Sweden 2012.
  44. Lucioni M. Practical Guide to Neck Dissection. Springer 2007.
  45. Lumintang NA, Reksoprawiro S, Panuwun T. Akurasi Pemeriksaan Imunohistokimia Galectin-3 untuk Membedakan Karsinoma Folikuler dan Adenoma Folikuler Tiroid. Karya Tulis Training Bedah Kepala Leher. Div.Bedah Kepala Leher. Dep Ilmu Bedah FK Unair. Surabaya. 2007.
  46. Luzzi KJ, MacDonald IC, Schmidt EE, Kerkvliet N, Morris VL, Chambers AF, Groom AC. Multistep nature of metastatic inefficiency: dormancy of solitary cells after successful extravasation and limited survival of early micrometastases. Am. J.Pathol.;(153);865–873;1998.
  47. Lydiatt WM, Anderson PE, Bazzana T, Casale M, Hughes CJ, Huvos AG, Lydiatt DD, Schantz SP. Molecular Support for Field Cancerization in the Head and Neck. Cancer;82(7) (1);1376-1380; 1998.
  48. Mahdey HM, Ramanathan A, Ismail SM, Abraham MT, Jamaluddin M, Zain RB. Cyclin D1 Amplification in Tongue and Cheek Squamous Cell Carcinomas. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention;12;2199-2204; 2011.
  49. Manuaba TW. Biologi dari Tumor Kepala Leher in: Workshop and Hands-on Experiences X Head and Neck Cancer. School of Head and Neck Surgery for General Surgeon. Sub.Department Head and Neck Surgery Department of Surgery School of Medicine Airlangga University/ Dr. Soetomo Teaching Hospital. Surabaya. 2007.
  50. Manuaba TW. Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid Peraboi 2010. Sagung Seto;98-130; 2010. 
  51. Mazurek N, Conklin J, Byrd JC, Raz A and Bresalier RS. Phosphorylation of the beta-galactoside-binding protein galectin-3 modulates binding to its ligands. J Biol Chem 275: 36311-36315, 2000. 
  52. McCullough MJ, Prasad G, Zhao S, Farah CS. The Changing Aetiology of Oral Cancer and the Role of Novel Biomarkers to Aid in Early Diagnosis in: Cancer Oral Cancer;7;129-143; InTech 2012.
  53. Mendenhall WM, Werning JW, Pfister DG. Treatment of Head and Neck Cancer in Devita, Hellman & Rosenberg's Cancer: Principles & Practice of Oncology, 8th Edition;810-885; Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
  54. Miranda FA, Hassumi MK, Guimaraes MCM, Simoes RT, Silva TGA, Lira RCP, Rocha AM, Mendes CT, Donadi EA, Soares CP, Soares EG. Galectin-3 Overexpression in Invasive Laryngeal Carcinoma, Assessed by Computer-assisted Analysis. Journal of Histochemistry & Cytochemistry;57(7);665-673; 2009.
  55. Moraes M, Maia C, Freitas RdA, Galvao HC. Cell proliferation markers in oral squamous cell carcinoma. J Mol Biomark Diagn;82; 2012.  
  56. Nagler R, Bahar G, Shpitzer T, Feinmesser R. Concomitant Analysis of Salivary Tumor Markers – A New Diagnostic Tool for Oral Cancer. Clin Cancer Res;12(13);3979-3984; 2006.
  57. Najaran ZT, Emami SA. Cytotoxic Plants: Potential Uses in Prevention and Treatment of Cancer in: Current Cancer Treatment – Novel Beyond Conventional Approaches;28;651-690; InTech 2011.
  58. Nangia-Makker P, Hogan V, Honjo Y, Baccarini S, Tait L, Bresalier R, Raz A. Inhibition of Human Cancer Cell Growth and Metastasis in Nude Mice by Oral Intake of Modified Citrus Pectin. Journal of the National Cancer Institute;94;24;1854-1862; 2002.
  59. Nangia-Makker P, Honjo Y, Sarvis R, Akahani S, Hogan V, Pienta KJ, Raz A. Galectn-3 Induces Endothelial Cell Morphogenesis and Angiogenesis. American Journal of Pathology;156(3); 2000.
  60. Nepomuceno JC. Antioxidants in cancer Tratment in Current Cancer Treatment – Novel Beyond Conventional Approaches;27;623-650; InTech 2011.
  61. Newkirk KA, Holsinger FC. Cancers of the Head and Neck in: The MD Anderson Surgical Oncology Handbook 4th. Ed. 146-167;Lippincott Williams & Wilkins, 2006.
  62. Ogbureke KUE, Bingham C. Overview of Oral cancer in: Oral Cancer;1;1-15; InTech 2012. 
  63. OCF (Oral Cancer Foundation). HPV Now the Leading of Oral Cancer in the US. PR Newswire. 2012.
  64. Park NJ, Zhou H, Elashoff D, Henson BS, Kastratovic DA, Abemayor E, Wong DT. Salivary microRNA: Discovery, Characterization and Clinical Utility for Oral Cancer Detection. Clin Cancer Res;15(17);5473-5477; 2009.
  65. Petersen PE. Oral Cancer Prevention and Control-The Approach of the World Health Organization. Oral Oncology,45;454-460; Elsevier 2009. 
  66. Piantelli M, Iacobelli S, Almadori G, Iezzi M, Tinari N, Natoli C, Cadoni G, Lauriola L, Ranelletti FO. Lack of Expression of Galectin-3 Is Associated With a Poor Outcome in Node-Negative Patients With Laryngeal Squamous-Cell Carcinoma. Journal of Clinical Oncology.(20);(18); (September 15), 3850-3856; 2002
  67. Poh CF, Zhang L, Anderson DW, Durham JS, Williams PM, Priddy RW, Berean KW, Ng S, Tseng OL, MacAulay C, Rosin MP. Fluorescence Visualization Detection of Field Alterations in Tumor Margins of Oral Cancer Patients. Clin Cancer Res;12(22);6716-6722; 2006.
  68. Prieto VG, Mourad-Zeidan AA, Melnikova V, Johnson MM, Lopez A, Diwan AH, Lazar AJF, Shen SS, Zhang PS, Reed JA, Gershenwald JE, Raz A, Bar-Eli M. Galectin-3 Expression Is Associated with Tumor Progression and Pattern of Sun Exposure in Melanoma. Clin Cancer Res;12;6709-6715; 2006. 
  69. Quon H. Cancer of the Head and Neck in: Abeloff's Clinical Oncology, 4th ed. Churchill Livingstone 2008.
  70. Radhakrishnan R, Shrestha B, Bajracharya D. Oral Cancer – An Overview in: Oral Cancer;3;50-60; InTech 2012.
  71. Reis PP, Waldron L, Perez-Ordonez B, Pintilie M, Galloni NN, Xuan Y, Cervigne NK, Warner GC, Makitie AA, Simpson C, Goldstein D, Brown D, Gilbert R, Gullane P, Irish J, Jurisica I, Kamel-Reid S. A gene signature in histologically normal surgical margins is predictive of oral carcinoma recurrence. BMC Cancer, 11:437;2011.
  72. Reksoprawiro S. Prinsip Bedah Onkologi Kepala Leher in: Workshop and Hands-on Experiences X Head and Neck Cancer. School of Head and Neck Surgery for General Surgeon. Sub.Department Head and Neck Surgery Department of Surgery School of Medicine Airlangga University/ Dr. Soetomo Teaching Hospital. Surabaya. 2007.
  73. Robbins KT,  Samant S, Ronen O. Neck Dissection in: Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery 5th.;121;1702-1724; Mosby-Elsevier 2010.
  74. Saman DM. A review of the epidemiology of oral and pharyngeal carcinoma: update. Head & Neck Oncology;4;1; 2012.
  75. Saussez S, Decaestecker C, Mahillon V, Cludts S, Cappouillez A, Chevalier D, Kaltner H, Andre S, Toubeau G, Leroy X, Gabius HJ. Galectin-3 Upregulation During Tumor Progression in Head and Neck Cancer. The Laryngoscope;118; 2008.
  76. SEER Program. SEER Stat Fact Sheets: Oral Cavity and Pharynx. National Cancer Institute 2012.
  77. Shah JP, Patel SG. Head and Neck Surgery and Oncology. 3rd.Ed; Mosby 2003.
  78. Shibata T, Noguchi T, Takeno S, Takahashi Y, Fumoto S, Kawahara K. Impact of nuclear galectin-3 expression on histological differentiation and vascular invasion in patients with esophageal squamous cell carcinoma. Oncol Rep,13:235-239; 2005.
  79. Sidransky D. Molecular Biology of Head and Neck Tumor in Devita, Hellman & Rosenberg's Cancer: Principles & Practice of Oncology, 8th Edition;800-809; Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
  80. Singh A, Badni M, Singh A, Samadi FM, Kabiraj A. Gene Therapy for Oral Cancer-Journey To A New Horizon. Oral & Maxillofacial Pathology Journal (OMP);3;1;203-210; 2012.
  81. Slaughter DP, Southwick HW, Smejkal W. “Field cancerization” in oral stratified squamous epithelium. Clinical Implication of Multicentric Origin. Cancer;6;963-968; American Cancer Society 1953.
  82. Srivastava R, Sharma R, Mishra S, Sing RB. Biochemical and Molecular Biological Studies on Oral Cancer: An Overview. The Open Nutraceuticals Journal;4;180-188; 2011.
  83. Stillman BN, Hsu DK, Pang M, Brewer CF, Johnson P, Liu F, Baum LG. Galectin-3 and Galectin-1 Bind Distinct Cell Surface Glycoprotein Receptors to Induce T Cell Death. The Journal of Imunology;176;778-789; 2006.
  84. Sudarsa W. Kanker Rongga Mulut (Overview) in: Workshop and Hands-on Experiences X Head and Neck Cancer. School of Head and Neck Surgery for General Surgeon. Sub.Department Head and Neck Surgery Department of Surgery School of Medicine Airlangga University/ Dr. Soetomo Teaching Hospital. Surabaya. 2007.
  85. Suzuki O, Abe M. Cell surface N-glycosylation and sialylation regulate galectin-3 induced opoptosis in human diffuse large B cell lymphoma. Oncology Reports;19;743-748; 2008.
  86. Szeimies Rm, Torezan L, Niwa A, Valente N, Unger P, Kohl E, Schreml S, Babilas P, Karrer S, Festa-Neto C. Clinical, histopatological and immunohistochemical assessment of human skin field cancerization before and after photodynamic therapy. British Journal of Dermatology;67;150-159; 2012.
  87. Tadbir AA, Fattahi MJ, Khademi B, Pourshahidi S, Ebrahimi H, Sardari Y, Fattah Z.  Serum level of Galectin-3 in Patiens with Oral Squamous Cell Carcinoma. Middle East Journal of Cancer;1(2);77-81; 2010.
  88. Takenaka Y, Fukumori T, Raz A.Galectin-3 and metastasis. Glycoconjugate Journal 19, 543–549, 2004. 
  89. Trang TT, Lavertu P. The Evolving Role of Neck Dissection in the Era of Organ Preservation Therapy for Head and Neck Squamous Cell Carcinoma in: Squamous Cell Head and Neck Cancer: Recent Clinical Progress and Prospects for the Future.;4;59-65; Humana Press 2005.
  90. Tsuboi K, Shimura T, Masuda N, Ide M, Tsutsumi S, Yamaguchi S, Asao T, Kuwano H. Galectin-3 Expression in Colorectal Cancer: Relation to Invasion and Metastasis. Anticancer Research;27;2289-2296; 2007.
  91. Tsuda M, Ohba Y. Functional Biomarkers of Oral Cancer in: Oral Cancer ed. Ogbureke KUE. 15;277-290; InTech 2012.
  92. Uittamo J. Production of Carcinogenic Acetaldehyde by Oral Microbiome. Doctoral Dissertation; Depart of Oral and Maxillofacial Diseases Helsinki University Central Hospital; 2012.
  93. Ujaoney S, Motwani MB, Degwekar S, Wadhwan V, Zade P, Chaudhary M, Hazarey V, Thakre TP, Mamtani M. Evaluation of chemiluminescence, toluidine blue and histopathology for detection of high risk oral precancerous lesions: A cross-sectional study. BMC Clinical Pathology;12;6; 2012.
  94. Vereecken P, Ghanem G, Morandini R, Suciu S, Baren NV, Heenen M. Defining the Prognostic Value for Galectin-3 in Cutaneus Melanoma. The Journal of International Medical Research;35;731-732; 2007.
  95. Waes CV. Molecular Biology of Squamous Cell Carcinoma in Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th ed;1309-1320; BC Decker Inc.; 2003.
  96. Wang XD, Inoue-Fruehauf H. Alcohol and Cancer: Cellular Mechanisms of Action in: Dietary Cancer Risk Factors in: Nutrition and cancer Prevention. Press;IX;28;579-590; CRC 2006.
  97. Wein RO, Malone JP, Weber RS. Malignant Neoplasms of the Oral Cavity in: Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery 5th.;96;1293-1317; Mosby-Elsevier 2010.
  98. Zhao Q, Barclay M, Hilkens J, Guo X, Barrow H, Rhodes JM, Yu L. Interaction between circulating galectin-3 and cancer-associated MUC1 enhances tumour cell homotypic aggregation and prevents anoikis. Molecular Cancer;9;154; 2010.
  99. Zhao Q, Guo X, Nash GB, Stone PC, Hilkens J, Rhodes JM, Yu L. Circulating galectin-3 promotes metastasis by modifying MUC1 localization on cancer cell surface. Cancer Res;69;17;6799-6806; 2009.
  100. Zhu X, Ding M, Yu M, Feng M, Tan L, Zhao F. Identification of galecin-7 as a potential biomarker for esophageal squamous cell carcinoma by proteomic analysis. BMC Cancer; 10;290;2010.



















LAMPIRAN. 1
PROSEDUR PEMERIKSAAN IMUNOHISTOKIMIA
Prosedur pemeriksaan imunohistokimia galectin-3 mengikuti prosedur tetap cara pemeriksaan imunohistokimia 3 step dengan microwave mediated antigen retrieval untuk parafin. Ada beberapa tahapan :
  1. Deparafinisasi :
- Xylol : 3 kali 5 menit
- Alkohol absolut : 1 kali 5 menit
- Alkohol 96% : 1 kali 5 menit
- Alkohol 70% : 1 kali 5 menit
       2. Dicuci dengan tris (hydroxymethyl aminomethan) 2 kali masing-masing 3 menit
       3. Dilakukan tahap microwave selama 10 menit dengan 10 mM sitrat buffer pH 6
       4. Dicuci dengan tris 2 kali masing-masing 3 menit.
       5. Dilakukan blocking dengan dual endogenous enzyme block (kit) pada suhu kamar
       6. Dicuci dengan tris 2 kali masing-masing 3 menit.
       7. Ditetesi antibodi primer Galectin-3 Ab-1 (Clone 9C4) mouse monoclonal  
           antibody (Thermo scientific, USA) selama  satu malam pada suhu 2 – 8 0C. 
        8. Dicuci dengan tris 2 kali masing-masing 3 menit
        9. Ditetesi antibodi sekunder  (Labelled Polymer-HRP) selama 30 menit pada suhu 
kamar.
      10. Dicuci dengan tris 2 kali masing-masing 3 menit.
      11. Ditetesi larutan peroksidase DAB (3,3’-diaminobenzidine tetrahydrochloride) 
selama 5-10 menit pada suhu kamar.
      12. Dicuci dengan aquades 2 kali masing-masing 3 menit
      13. Dilakukan counterstain dengan mayer haematoxylin selama 5 menit.
      14. Dilakukan dehidrasi kemudian mounting dengan enttelan (Xylene). 




Lampiran 2
Rincian Data Penderita
pastedGraphic_33.png





LAMPIRAN 2
HASIL ANALISIS STATISTIK

Hasil Analisis Deskriptif

Frequencies

pastedGraphic_34.png


Frequency Table

pastedGraphic_35.png

pastedGraphic_36.png

pastedGraphic_37.png

pastedGraphic_38.png


pastedGraphic_39.png

pastedGraphic_40.png

pastedGraphic_41.png

pastedGraphic_42.png

pastedGraphic_43.png




pastedGraphic_44.png

pastedGraphic_45.png
Descriptives

pastedGraphic_46.png





Crosstabs

pastedGraphic_47.png

pastedGraphic_48.png








Analisis Hubungan Derajat histopatologi dengan ekspresi galectin-3

Crosstabs

pastedGraphic_49.png



Derajat Histopatologi * Ekspresi Galectin-3




pastedGraphic_50.png





pastedGraphic_51.png




pastedGraphic_52.png





Agresifitas berdasar Derajat Histopatologi * Ekspresi Galectin-3

pastedGraphic_53.png


pastedGraphic_51.png

pastedGraphic_52.png

Crosstabs
pastedGraphic_54.png


Derajat Histopatologi * Ekspresi Galectin-3



pastedGraphic_55.png

pastedGraphic_56.png



pastedGraphic_57.png


Agresifitas berdasar Derajat Histopatologi * Ekspresi Galectin-3


pastedGraphic_58.png




pastedGraphic_56.png


pastedGraphic_57.png







Analisis hubungan besar tumor dengan ekspresi galectin-3


Crosstabs

pastedGraphic_59.png


Besar Tumor * Ekspresi Galectin-3

pastedGraphic_60.png


pastedGraphic_61.png

pastedGraphic_62.png








Agresifitas berdasar Status Besar Tumor * Ekspresi Galectin-3
pastedGraphic_63.png

pastedGraphic_64.png

pastedGraphic_65.png











Crosstabs

pastedGraphic_59.png




Besar Tumor * Ekspresi Galectin-3


pastedGraphic_66.png



pastedGraphic_67.png


pastedGraphic_68.png


Agresifitas berdasar Status Besar Tumor * Ekspresi Galectin-3
pastedGraphic_69.png

pastedGraphic_70.png

pastedGraphic_71.png





Analisis hubungan status KGB dengan ekspresi galectin-3

Crosstabs
pastedGraphic_72.png

Metastase ke KGB Leher * Ekspresi Galectin-3
pastedGraphic_73.png

pastedGraphic_74.png

Agresifitas berdasar Status KGB * Ekspresi Galectin-3

pastedGraphic_75.png

pastedGraphic_76.png



Crosstabs

pastedGraphic_72.png














Metastase ke KGB Leher * Ekspresi Galectin-3



pastedGraphic_77.png

pastedGraphic_78.png




Agresifitas berdasar Status KGB * Ekspresi Galectin-3



pastedGraphic_79.png



pastedGraphic_80.png



pastedGraphic_81.png



Analisis Hubungan agresifitas berdasar derajat histopatologi, besar tumor dan KGB dengan ekspresi galectin-3

pastedGraphic_82.png

pastedGraphic_83.png

pastedGraphic_84.png


Crosstabs
pastedGraphic_85.png


pastedGraphic_86.png

pastedGraphic_87.png


pastedGraphic_88.png