Wednesday, October 6, 2010

Dasar Panduan Nutrisi Parenteral Partial

Tinjauan Kepustakaan


Dasar Panduan Nutrisi Parenteral Partial

 

Divisi Bedah Digestif

Bagian Bedah F.K UNSRAT/RSUP Manado

Dr.Theo Rompas



P
enderita dengan trauma yang besar, sakit berat atau sepsis mengalami peningkatan kebutuhan energi, peningkatan katabolisme disertai kehilangan massa tubuh yang cepat. Meskipun pemberian nutrisi konvensional mampu dengan baik mengatasi malnutrisi biasa, bahkan hiperalimentasi ternyata gagal mengatasi perubahan metabolik terhadap pasien-pasien seperti diatas. Penurunan berat badan, kehilangan otot yang mengakibatkan keseimbangan nitrogen yang negatif tetap saja terjadi, berapapun jumlah nutrisi yang diberikan. Hal ini karena respons metabolik pada pasien sakit kritis, trauma hebat dan atau disertai tindakan operasi dan sepsis sangat berbeda dengan dengan penderita malnutrisi/starvasi (kekurangan gizi akibat intake yang kurang). Selama beberapa dekade terakhir ini jumlah energi yang diberikan pada pasien sepsis atau sakit berat termasuk penderita trauma dengan SIRS justru menurun, karena telah dibuktikan bahwa kebutuhan energi pasien tidaklah jauh berbeda dengan pasien normal. Hipermetabolisme yang timbul pada kenyataannya diimbangi dengan aktifitas fisik yang menurun. Oleh karena itu strategi untuk mengatasi kehilangan otot dan keseimbangan nitrogen yang negatif adalah mengatasi penyebab hipermetabolisme dan memberi tunjangan nutrisi yang adekwat dalam kualitas bukan kwantitas. Pemahaman penyebab terjadinya hipermetabolisme ini berarti adalah pemahaman yang jelas dari respons metabolik. Respons ini terkait dengan berbagai reaksi akibat adanya trauma, seperti neuroendokrin, imunologis dan mencakup berbagai macam mediator inflamasi.

Respons Neuroendokrin
          Suatu trauma akan menyebabkan kerusakan jaringan dan perdarahan, sedangkan tubuh akan memberikan reaksi sebagai respons akibat trauma yang terjadi. Proses yang termasuk dalam respons ini meliputi serangkaian stimulus dan transmisi dari sistem saraf yang diatur oleh susunan saraf pusat, aktifitas kelenjar endokrin dan reaksi imunologis yang mencakup mediator tertentu yang bekerja antar sel. Keseluruhan reaksi ini memberikan respons fisiologis-reaksi adaptif sebagai suatu jawaban untuk keadan abnormal akibat faktor pemicu tersebut. Hasil akhir berupa “Stress Respons Syndrome”. Bila gangguan tersebut berlangsung singkat maka respons ini bermanfaat. Namun jika ada gangguan sekunder seperti infeksi maka respons yang terjadi bersifat merusak dan terjadi gangguan fungsi organ.
          Luka, kerusakan jaringan dan perdarahan merupakan rangsangan(stimulus) yang akan menimbulkan signal dari perifer kesentral. Input sensoris dari luka atau jejas akan ditransmisikan ke thalamus melalui tractus spinothalamicus dan menimbulkan sensasi nyeri yang umumnya bersamaan dengan respons emosional, sehingga sistem simpatis teraktivasi. Hal ini terjadi bersamaan dengan penurunan volume sirkulasi akibat perdarahan
Perdarahan akan terdeteksi melalui baroreseptor (aortic body dan carotid body) sebagai penurunan tekanan arterial. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi akibat adanya refleks simpatis dari kelenjar adrenal dan terjadi sekresi adrenalin dan noradrenalin. Selain itu aortic bady dan carotid body terdapat kemoreseptor yang dapat mendeteksi adanya penurunan tekanan O2 (PaO2) atau peningkatan ion H+ atau tekanan CO2 (PCO2) didalam darah yang menyebabkan respons neuroendokrin di hipothalamus. Hasil dari respons ini menyebabkan darah “diperas” kembali kejantung dan otak sehingga perfusi dan oksigenasi keduanya tercukupi (kedua organ ini tidak peka terhadap respons ini, sehingga disebut juga organ klas satu) dan organ lain dimana resistensi perifernya meningkat menjadi korban yaitu: ginjal, otot, kulit, usus(viscera) dan hati. Kejadian ini disebut ‘protective redistribution’ oleh karena organ lain diselamatkan dan organ lain menjadi korban. Secara klinis ditandai dengan akral dingin, berkeringat (rangsangan simpatis pada kelenjar keringat) takikardi (naiknya cardiac output), frekwensi napas menjadi cepat dan vena kolaps dengan tensi yang mungkin masih tetap normal. Vena kolaps oleh karena 75% jumlah total darah berada pada sirkulasi vena.
Jika tidak ada pertolongan dalam 24-48 jam tekanan hidrostatik menurun dan tekanan onkotik meningkat sehingga terjadi sekresi ADH yang menyebabkan retensi air oleh ginjal. Dan akibat perfusi ginjal yang menurun sistem RAA teraktivasi menyebabkan retensi Na oleh hormon aldosteron. Proses ini disebut juga tahap hemodilusi yang dipercepat dengan pemberian resusitasi cairan untuk mencukupi perfusi dan oksigenasi jaringan. Penjelasan singkat mengenai hal ini adalah sebagai berikut: secara normal darah arterial mengandung 20 Vol.% O­2, artinya dalam 100 cc darah arterial mengandung 20 cc O2. Dalam darah vena kandungan oksigen 15Vol.%O2. Hal ini berarti dalam tiap 100 cc darah diambil 5 cc O2. Kebutuhan oksigen permenit secara normal adalah 250 cc O2. Dengan demikian cardiac output dapat dihitung sebagai berikut, 250/5 O2 x 100 cc darah = 5 liter darah. Berdasarkan hal ini dapat dimengerti mengapa terjadi peningkatan heart rate dan/atau respiratory rate. Misalnya terjadi hemodilusi sehingga kandungan oksigen darah arterial menjadi 17,5 vol% O2 dan kandungan darah vena tetap 15 vol%, maka oksigen yang diambil tiap 100 cc darah hanya 2,5 vol%O2. Jadi untuk memenuhi kebutuhan normal oksigen cardiac output harus meningkat menjadi 250/2,5 O2 x100 cc darah = 10 liter melalui peningkatan heart rate. Jika ada kompensasi respiratory dimana respiratory rate meningkat sehingga pengambilan oksigen permenit tetap 5 vol% O2 , misalnya kandungan darah arterial 17,5 vol% O2 dan darah vena menjadi 12,5 vol% maka cardiac output tidak meningkat. Umumnya kedua mekanisme ini saling tumpang tindih.
Respons lain yang perlu dipahami secara mendalam yaitu pelepasan mediator-mediator sistemik dari luka atau jaringan yang mengalami jejas dan atau kerusakan jaringan akibat iskemik yang timbul sekunder akibat hipoperfusi yang berkepanjangan atau tidak/tak teratasi. Keadaan ini merupakan cascade dari SIRS.
Salah satu organ yang perlu mendapat perhatian khusus adalah usus. Pada fase shock terjadi ileus paralitik disertai distensi usus. Distensi usus ini disertai hipoperfusi jaringan menyebabkan disrupsi mukosa usus. Bakteri usus yang bersifat komensal mengalami perubahan sifat menjadi oportunistik (perubahan keseimbangan kehidupan flora usus) dan mengadakan invasi yang sekarang dikenal dengan sebutan translokasi bakteri. Translokasi bakteri ini juga ternyata dipengaruhi oleh obat-obatan yang sering secara rutin digunakan seperti pemberantasan bakteri anaerob. Selain itu juga pemberian H2 inhibitor seperti cimetidine dimana terjadi perobahan suasana keasaman lumen usus. Dengan demikian kerusakkan menjadi begitu luas.

Respons Inflamasi
Awalnya reaksi inflamasi hanya bersifat lokal yang merupakan respons dari infeksi atau trauma atau keduanya beserta dengan kerusakan jaringan/organ lain yang bersifat sekunder. Reaksi lokal ini merupakan pencetus SIRS dimana mediator-mediator inflamasi saling berinteraksi secara sistemik. Secara garis besar terdiri dari dua respons yaitu: Inflammatory cascade dan Coagulation cascade. Keduanya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan dengan respons neuroendokrin dan respons metabolisme. Berbagai mediator tersebut antara lain:
Komplemen sistem yang merupakan gugusan protein plasma yang berfungsi menghancurkan/lisis mikroorganisme. Komplemen teraktivasi oleh antigen, mediator radang, bahan kimia tertentu atau endotoksin. Jika reaksi ini berlebihan menjadi suatu proses yang merusak jaringan tubuh sendiri, misalnya pada ARDS. Aktivasi sistem komplemen tampak sebagai peningkatan leukosit.
Leukosit (PMN) yang teraktivasi dan rusak dan jaringan yang iskemik melalui enzim xantin oksidase akan memproduksi radikal oksigen. Radikal oksigen ini sangat merusak jaringan dengan terbentuknya oksigen peroksidase H2O2. Beberapa tulisan menyatakan bahwa radikal oksigen terkait dalam lingkaran setan suatu reaksi inflamasi, trauma-kerusakan endotel-deposisi platelet dan fibrin-ischemia-kerusakan jaringan-aktivasi komplemen-terbentuk radikal oksgen-dan kerusakan endotel.
Sitokin (cytokines) merupakan bahan biologik peptida yang berfungsi sebagai mediator yang diproduksi oleh monosit (monokin) dan limfosit/makrofag (limfokin). Kurang lebih ada seratus bahan yang diproduksi oleh makrofag, tapi yang penting ialah IL1, IL2 dan IL6 dimana interaksi diantaranya menyebabkan proliferasi B sel dan produksi antibodi dan berperan terjadinya proteolisis. Sitokin yang diproduksi oleh monosit ialah TNF dan IF yang mempunyai kemampuan seperti IL1. Platelet Activating Factor (PAF) yang diproduksi oleh berbagai sel seperti PMN, makrofag dan endotelial sel fungsi pentingnnya adalah untuk menginduksi PMN sendiri.
Suatu mediator yang berbahan dasar bukan protein adalah eicosanoid. Bahan ini dibentuk dari phospholipid plasma membran yang meliputi prostaglandin, tromboxan dan leukotrien yang semuanya merupakan metabolit asam arachidonat. Eicosanoid mempunyai peran yang besar terhadap respons biologis dan berperan banyak pada keradangan akut. Asam lemak yang merupakan precursor eicosanoid adalah asam lemak esensial rantai panjang tak jenuh T-3 dan T-6. asam lemak ini selain disintesa oleh tubuh sendiri juga didapat dari luar (diet). Eicosanoid yang berasal dari asam lemak T-3 potensinya lebih kecil (1/10 sampai 1/100) dibandingkan dengan eicosanoid yang berasal dari T-6, dengan demikian efek keradangan yang ditimbulkannya lebih kecil. Pengaruhnya terhadap proses keradangan terutama terhadap sitokin, T-3 lebih menguntungkan oleh karena mampu menurunkan produksi sitokin dibandingkan dengan asam lemak yang lain. Dapat dikatakan asam lemak T-3 menurunkan respons keradangan karena efeknya pada produksi eicosanoid dan sitokin. Suatu studi yang dilakukan pada tikus yang mengalami ‘endotoksin-induced lung injury’ yang diberikan diet asam lemak T-3 yang tinggi memperlihatkan adanya pengurangan permeabilitas pulmoner dan perbaikkan hipotensi. Interaksi yang rumit ini diduga menentukan manifestasi klinis dan prognosanya.

Respons Metabolik
Respons metabolik sangat berhubungan dan saling tumpang tindih dengan keadaan shock, reaksi neuroendokrin dan respons inflamasi seperti telah dijelaskan diatas. Dahulu respons ini dibagi dalam dua fase yaitu: fase awal (ebb fase) dan fase lanjut (flow fase). Pada ebb fase terjadi usaha memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan. Pada fase lanjut terjadi hiperglikemia, mobilisasi lemak/lipolisis dan pemecahan asam amino otot, retensi air dan natrium, penurunan konsumsi oksigen dan peningkatan glukoneogenesis. Sekarang respons metabolik digolongkan dalam 4 fase yaitu fase: shock, resusitasi, hipermetabolik dan sindrome disfungsi organ multiple (MODS). Tergantung pada keparahan trauma/infeksi dan penanganan yang diberikan, tidak semua kasus berkembang menjadi fase hipermetabolik dan MODS. 

1.     Fase Shock, dimana terjadi hipoperfusi dan disfungsi organ akibat perdarahan ataupun trauma lainnya.
2.     Fase Resusitasi yang menyangkut resusitasi aktif, termasuk pembedahan maupun respons neuroendokrin untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan seperti telah dijelaskan diatas. Selama fase ini sebagian besar mediator inflamasi teraktivasi.
3.     Fase Hipermetabolik. Fase ini merupakan fase katabolik yang dapat berakhir dalam beberapa hari hingga beberapa minggu. Disini terjadi balance nitrogen negatif, lipolisis dan peningkatan sekresi insulin, katekolamin dan kortisol. Pada fase awal keadaan ini mempunyai keuntungan karena berhubungan dengan pertahanan tubuh melalui proses inflamasi seperti dijelaskan sebelumnya. Namun jika aktifasi ini berlanjut terus, reaksi inflamasi ini merusak dan berakibat timbunya SIRS (Systemic Inflamatory Respons Syndrome).
4.     MODS (Multi Organ Dysfunction Syndrome). Keadaan ini merupakan kelanjutan dari SIRS.
Secara esensial semua proses yang terjadi ini membutuhkan energi yang luar biasa besarnya sesuai tingkatan besarnya trauma. Sumber utama energi yang sebenarnya digunakan pada orang normal adalah glukosa. Glukosa disimpan dalam bentuk glikogen dalam otot dan hanya digunakan dalam otot dan tidak dikeluarkan secara sistemik, sehingga glukosa dibentuk melalui glukoneogenesis dari protein terutama dari otot dengan penghematan protein viscera, gliserol, laktat atau piruvat melalui TCA (Tricarboxylic Acid Cycle) atau siklus Krebb. Selain itu energi diambil dari lemak untuk jaringan yang bukan glucose dependent dan terbentuk keton bodies dan CO2 dan energi diambil dari gliserol dan asam lemak.
Secara umum dapat disimpulkan terjadi peningkatan:
·       Aktifitas kardiovaskuler seperti:
o   Takikardi
o   “pulse Pressure” yang melebar
o   “cardiac output” yang meningkat
·       “Metabolic Rate”
·       “Oxygen Consumption”
·       Katabolisme Protein
·       Hiperglikemia.
Pada pasien dengan responsnya baik “cardiac index” dapat melampaui 4,5 liter/menit/m2. Jika respons tidak baik sehingga “cardiac index” kurang dari 2,5 liter/menit/m2, konsumsi oksigen turun sampai dibawah 100 ml/menit/m2 (normal:120-160 ml/menit/m2. selain adanya endotoksin maka anoksia ini menyebabkan kerusakan sel dan menghambat utilisasi/pemanfaatan oksigen untuk “Oxidative Phosphorylation”. ATP yang disintesa sangat besar jumlahnya. Tapi tidak ada reserve ATP ataupun kreatinin fosfat, dengan demikian terjadi glikolisis anaerobik dan hanya terbentuk 2 ATP dari satu mol glukosa (pada metabolisme aerobik 34 ATP) dengan hasil akhir berupa laktat yang dibentuk dari piruvat. Pada keadaan dimana responsnya baik piruvat piruvat dikonversi menjadi “Acetyl Co-Enzym A” untuk masuk dalam “Krebs Cycle” untuk diubah kembali menjadi glukosa. Pada keadaan shock hal ini terhambat. Laktat yang menumpuk menyebabkan acidosis laktat. Perlu diingat acidosis yang berkelanjutan dalam tiga hari pertama berkorelasi dengan ISS (“Injury Severity Score”) dan memprediksi terjadinya ARDS (“Adult Respiratory Distress Syndrome”).

Dampak  pada “Substrate Metabolisme”
Pada pasien sakit berat terjadi suatu kondisi yang mirip dengan kehamilan dan pasien diabetes, dimana terjadi intoleransi glukosa dan hiperglikemia. Hal ini terjadi karena “turn over”/mobilisasi glukosa meningkat sedangkan pemanfaataan oleh jaringan menurun, dimana pada fase dini shock dengan adanya pengaruh katekolamin terjadi hambatan pada sel ß pankreas dan kadar insulin dapat turun sampai dibawah 8 unit/ml. Pada tahap selanjutnya dimana glukoneogenesis terutama akibat glukokortikoid dan glukagon, terjadi peningkatan insulin sebagai respons terhadap hiperglikemia yang terjadi, tapi karena adanya “Growth Hormon” terjadi hambatan fungsi insulin terhadap metabolisme glukosa. Jadi pada keadaan ini terjadi hiperglikemia, hiperinsulinema dan katabolisme sebagai sumber kalori menjadi karakteristik. Kadar glukosa sebaiknya dipantau dan dapat dilakukan titrasi dengan insulin IV, tapi perlu diingat adanya resistensi insulin oleh jaringan. Hal ini penting karena hiperglikemia dapat meningkatkan insufisiensi ventilasi dan diuresis osmotik. Pemberian nutrisi parenteral (glukosa) pada keadaan ini dapat memperburuk keadaan, harus ada kombinasi dengan pemakaian emulsi lemak.
Lemak dapat sebagai sumber energi, juga komponen yang esensial untuk setiap sel terutama penting untuk menjamin integritas dinding sel. Dalam keadan sepsis terjadi kekurangan delta-6 desaturase yang diperlukan untuk konversi asam lemak esensial, sehingga terjadi kekurangan asam lemak esensial yang sangat diperlukan oleh sistem kekebalan tubuh. Hal ini memicu pembentukan TNF dan leukotrien yang akan merangsang  spasme bronkus lebih kuat dari efek histamin, meningkatkan permeabilitas kapiler. Hal ini menunjukkan pentingnya tunjangan asam lemak.

Pengelolaan

          Pengelolan pertama adalah menjamin oksigenasi jaringan secepatnya dengan memperbaiki volume intravaskuler dengan cairan elektrolit, koloid atau darah. Jika perlu dengan obat-obatan vasoaktif. Tanpa sirkulasi yang adekuat dan perfusi jaringan yang baik, usaha pengobatan yang lain akan sia-sia dimana penderita akan jatuh pada suatu kondisi yang bersifat irreversibel. Pembedahan untuk mengatasi sumber infeksi atau pembedahan yang bersifat resusitatif merupakan langkah berikutnya. Tindakan ini dapat dilakukan secara simultan dengan tindakan awal dengan syarat tindakan awal tetap dijalankan.
          Selama fase akut diatas tidak dianjurkan memaksakan pemberian nutrisi. Pemberian glukosa dalam jumlah banyak berbahaya oleh karena menyebabkan hiperglikemia. Tahap ini seperti dijelaskan sebelumnya adalah ebb fase. Setelah fase krisis dilalui, biasanya dalam 24-48 jam, pemberian nutrisi sangat penting. Asam amino sangat penting untuk mengatasi kehilangan protein yang banyak bersamaan dengan pemberian glukosa dalam jumlah yang cukup sebagai sumber kalori.
          Berbagai macam sumber kalori yang lain telah dicoba sebagai pengganti glukosa, tapi glukosa masih merupakan karbohidrat yang terbaik. Kebanyakan pasien cukup diberikan 25-30 Kcal/kgBB/hari, dimana glukosa sebagai non-protein kalori sebanyak 70%-80% dan sisanya dalam bentuk lemak. Penulis lain ada yang berpendapat perbandingan ini maksimal 50:50. Pemberian kalori ini mengurangi katabolisme protein dan penumpukan keton bodies akibat metabolisme lemak. Perhitungan kebutuhan kalori ini harus disesuikan dengan kebutuhan cairan, elektrolit, protein dan lemak. Kebutuhan elektrolit harian yang harus diikutsertakan dalam perhitungan ialah Na+: 3 mEq/kgBB/hari dan K+: 1-2 mEq/kgBB/hari.
          Kebutuhan protein dalam proses katabolik adalah sekitar 1,2-2,0 g/kgBB/hari, bila fungsi ginjal baik. Memberikan lebih dari itu tidak akan meningkatkan sintesis protein malahan akan menyebabkan uremia. Rasio non-protein kalori dan nitrogen harus diantara 100:1 dan 150:1 untuk menjamin sintesis protein. Suplemen dengan glutamin, arginin, nukleotida, vit E dan C, zinc dan asam lemak rantai panjang T-3 sangat penting oleh karena dapat mengurangi respons imun yang berlebihan. Bahan suplemen ini disebut juga imunonutrien.
          Pilihan utama pemberian nutrisi adalah secara enteral, kecuali: tidak dapat, tidak boleh dan tidak makan atau lewat sonde lambung dapat diberikan secara perenteral. Perlu diingat pemberian secara parenteral yang lama dapat menyebabkan atrofi mukosa usus, translokasi bakteri dan sepsis. Jika secara enteral hanya mampu menampung sebagian dapat diberikan sebagian secara parenteral. Walaupun ada penulis yang menyatakan bahwa puasa kurang dari satu minggu tidak menyebabkan atrofi mukosa usus dan translokasi bakteri, tapi pada umumnya dianjurkan nutrisi enteral dini.

Panduan Umum Nutrisi Parenteral

          Oleh karena adanya kendala tertentu dalam pemberian nutrisi parenteral total, maka dibawah ini dijelaskan secara umum cara pemberian nutrisi parenteral partial yang diberikan melalui vena perifer. Panduan dibawah ini merupakan panduan dasar yang dapat dimodifikasi dan disertai sedikit pengulangan bahasan yang telah dijelaskan diatas.

Kebutuhan Biologik Normal:
Kalori: 25-30 kcal/BB/hari (mis.BB 70 kg = 1750-2100). Sumber kalori ini terbagi berdasarkan sumbernya sebagai berkut:
          50% = karbohidrat
          30% = protein
          20% = lemak
Kebutuhan Karbohidrat: 100-200 gram/ hari. Beberapa hal yang perlu diingat tentang manfaat karbohidrat yaitu:

          Mengurangi katabolisme protein
          Mengurangi penumpukan keton bodies akibat metabolisme fat.
          1 gram karbohidrat  = 4,1 kcal
          1 gram fat               = 9,3 kcal
Jika karbohidrat hanya berasal dari cairan dektrose 5% atau 10% maka dalam :
          1000 cc D5   = 50 gram     = 205 kcal
          1000 cc D10 = 100 gram   = 410 kcal
Dapat dilihat bahwa pemenuhan kalori hanya dari larutan dextrose dengan isoosmolaritas saja tidak cukup, dengan demikian perlu tambahan kalori dari sumber lain misalnya emulsi lemak atau dengan karbohidrat jenis lain atau dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Kebutuhan kalori ini perlu juga disesuaikan dengan:
·       Jumlah kebutuhan cairan harian (maintenance)
·       Kebutuhan elektrolit terutama Na+ dan K+
·       Protein dan lemak
·       Osmolaritas yang dapat ditoleransi vena perifer yaitu < 800 mOsm.
Suatu hal yang sangat penting dalam pemberian dekstrose/glukose adalah karbohidrat jenis ini bersifat insulin dependent. Dengen demikian pemberiannya harus dimulai dengan konsentrasi yang rendah dan ditingkatkan secara perlahan dan harus merata dalam 24 jam. Penghentian pemberian dextrose secara mendadak atau tidak teratur dapat menyebabkan kadar gula darah yang turun tiba-tiba. Penjelasan hal ini adalah sebagai berikut; saat pemberian dekstrose konsentrasi tinggi kadar insulin juga tinggi dan saat konsentrasi pemberian diturunkan, insulin yang tinggi (overshoot insulin) dapat menyebabkan hipoglikemia akut. Bila ada ketidakmampuan insulin daat terjadi hiperglikema. R/ Triofusin yang mengandung dextrose, fruktose dan xylitol, jarang menyebabkan hiperglikemia ataupun tambahan insulin.



Protein
Pemberian protein untuk menjaga balance nitrogen positif, dimana protein berfungsi untuk regenerasi sel, enzim, dan berbagai reaksi biologis dalam tubuh. Untuk itu diperlukan 1 gram /BB/ hari. Yang paling diperlukan L-asam amino, oleh karena proses pembentukan protein lebih cepat. Perlu diingat larutan asam amino juga mengandung karbohidrat dan elektrolit. Pemberian asam amino/protein saja tanpa diberikan kebutuhan kalori, menyebabkan asam amino dirobah menjadi energi melalui jalur glukoneogenesis. Dengan demikian pada pemberian asam amino yang bertujuan menjaga balance nitrogen positif, perlu ada ”perlindungan”  kalori 25 kcal tiap 1 gram asam amino. Misalnya pada pemberian asam amino/protein 50 gram, dibutuhkan 1200 kcal atau 300 gram karbohidrat. Jika asam amino bertujuan sebagai “nitrogen sparing effect” dimana menjaga agar protein viscera atau otot tidak dirobah menjadi kalori, jadi balance nitrogen sama dengan nol, maka tidak perlu diberikan kalori.
          Larutan asam amino pada umumnya bersifat hiperosmotik, oleh karena itu pada pemberian melalui vena perifer perlu dilakukan pengenceran misalnya dengan dekstrose, atau dipilih asam amino dengan konsentrasi rendah. Contoh yang ada dipasaran R/ Aminofusin L-600 dimana kandungan tiap 1000 cc sebagai berikut:
          Asam amino = 50 gram
          Karbohidrat  = 100 gram
          Na+              = 40 mmol
          K+                = 30 mmol
          Osmolaritas  = 1.100 mOsm
R/  Pan Amin G:
          Asam amino = 27,2 gram
          Karbohidrat  = 50 gram
          Na+ dan K+   = tidak ada
          Osmolaritas  = 507 mOsm

Fat
Misalnya R/Ivelip. Larutan ini tersedia dalam beberapa kemasan dengan konsentrasi 10% dan 20%. Satu liter larutan 20% mengandung 2000 kcal dengan osmolaritas yang rendah yaitu 270 mOsm. Pada botol 250 cc yang mengandung 50 gram lemak mengandung 500 kcal dengan osmolaritas yang sama. Larutan 20% dengan kemasan 250 cc atau 100 cc lebih disukai oleh karena mudah dalam pengaturannya.
Cairan Harian
Neonatus:
          = 60-80 cc/BB pada hari I
                    = 80-100 cc/BB pada hari II
                    = 100-120 cc/BB pada hari III dst.
Bayi dan anak:
                    =  < 10 kg     = 100 cc/BB
                    =  10-20 kg   = 1000 cc + 50 cc/BB-10
                    =  > 20 kg     = 1500 cc + 20 cc/BB-20
Pada orang dewasa = 2000-3000 cc/hari, atau disesuaikan dengan status penderita.
 Elektrolit
Jumlah kebutuhan harian elektrolit bervariasi sesuai kepustakaan yang ada.
                    = Na+ =1-3 mEq/BB/ hari
= K+   =1-2 mEq/BB/hari.
Ada yang menganjurkan pemberian kalium 30-40 mEq/hari sudah cukup atau 20 mEq tiap 1000 cairan. Kalium tidak diberikan pada 3-5 hari I atau jika produksi urine < 1000/ 24 jam pada penderita BB=70 kg, (atau kurang dari 1 cc/bb/jam untuk ). Dosis maksimum 100 mEq / hari dan diberikan secara drips yang dicampur dengan larutan lain, tidak boleh diberikan secara bolus. Kalium tersedia dalam kemasan 25 cc berisi 25 mEq.
          Natrium terdapat pada banyak jenis cairan, dan harus diperhatikan pada tiap kombinasi pemberian nutrisi. Misalnya Ringer Asetat ataupun Ringer Laktat mengandung 130 mEq.

Saat Pemberian

          Pemberian nutrisi parenteral umumnya dimulai pada hari ke III pasca-bedah/trauma. Jika keadaan membutuhkan koreksi nutrisi cepat, maka pemberian paling cepat 24 jam pasca-trauma/bedah. Jika keadaan ragu-ragu dapat dilakukan pemeriksaan kadar gula. Jika kadar gula darah < 200 mg/dl. pada penderita non diabetik, nutrisi parenteral dapat dimulai.
Nutrisi parenteral tidak diberikan pada keadaan sebagai berikut:
·       24 jam pasca-bedah/trauma
·       gagal napas
·       shock
·       demam tinggi
·       brain death (alasan cost-benefit)
Vena perifer yang dipilih sebaiknya pada lengan, oleh karena pemberian melalui vena tungkai bawah resiko flebitis dan trombosis vena dalam lebih besar. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa karbohidrat diperlukan sebagai sumber kalori. Dalam pemenuhan kalori adalah suatu keharusan dan multak ada dekstrose, sehingga mengurangi proses glukoneogenesis. Sebagai sumber kalori lain adalah emulsi lemak. Jika akan diberikan emulsi lemak sebaiknya terbagi sama banyak dalam hal jumlah kalori. Misalnya dibutuhkan jumlah kalori 1200 maka perhitungannya sebagai berikut:
          600 kcal       = glukosa 150 gram
          600 kcal       = fat 70 gram
Kombinasi ini menghindari keadaan hiperosmolar dan hiperglikemia. Pemberian emulsi lemak harus hati-hati dan sebaiknya diberikan seminggu sekali. Lebih baik jika dilakukan pemeriksaan fungsi hepar secara teratur. 

Contoh:
Hari I              : (masa stabilisasi) cukup diberikan kristaloid (RL atau Ringer Asetat)
            Hari II : Triofusin 500 sebanyak 1500 cc + intrafusin 3,5% 500 cc maka:
                        Cairan : 2000 cc
                        Asam amino    : 17,5 gram
                        Energi             : 870 kcal
                        Na+                  : 30,8 mEq
                        K+                    : 15 mEq
                        Osmolaritas    : 745 mOsm
Data ini menunjukan kekurangan natrium dan kalium. Untuk itu dapat ditambahkan Kcl 15-20 cc (15-20 mEq) atau sesuai data laboratorium, sedangkan natrium dapat ditambahkan NaCl 3% 200 cc yang mengandung 105 mEq Na+. NaCl 3%=513 mEq Na+/L
Hari III           : Triofusin 500 sebanyak 1500 cc + intrafusin 3,5% 1000 cc + Ivelip    10% 100 cc.
Contoh ini dapat dimodifikasi dengan mudah sesuai kebutuhan. Perlu diingat larutan yang mengandung dektrose harus diberikan terus-menerus. Dengan demikian dapat dipergunakan stop-cock sehingga cairan lain yang daat diberikan selang seling. Ketrampilan kita dalam pemberian nutrisi ini perlu disertai dengan komposisi berbagai jenis cairan yang ada dipasaran termasuk osmolaritasnya.



Kepustakaan

1.     Daldiyono, Thana A.R., Kapita Selekta Nutrisi Klinik, Perhimpunan Nutrisi Enteral dan Parenteral Indonesia, 1998, hal:.1-20.
2.     Atmadjaya I.N.K. Endocrine and Metabolic Respons to Trauma, Proyek Trigonum Plus IX, Malang, 6-8 Oktober 2000.
3.     Wahjuprajitno B, Peran Lemak Pada Sepsis, dalam Simposium “Lipid Emulsion in Ctritically Patient”, Jakarta 19 Pebruari 2000.
4.     Hill G.L, Disorders of Nutrition and Metabolism in Clinical Surgery, Churchill Livingstone, 1992.
5.     Konferensi Konsensus, Penggunaan Rasional Emulsi Lipid Di Rumah Sakit, Vivendi Universal Publishing. Medimedia Singapore. 2001.
6.     Simposium: Lipid Emulsion in Critically ill patient, Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Jakarta, 2002.
7.     Moenadjat, Y, SIRS dan Burn Sepsis, Luka Bakar-Pengtahuan Klinis Praktis. Farmedia.2000.
8.     Moenadjat,Y , Perubahan Metabolik dan Nutrisi pada Luka Bakar, Luka bakar-Pengetahuan Klinis Praktis, Farmedia.2002.
9.     Tjokroprawiro H., et al., Nutrisi Perenteral-Simposium Terapi Cairan III RSUD Dr.Sutomo, Surabaya, 1992.
10. Evans T.W. and Smithies M., Organ Dysfunction, BMJ 1999;318: 1606-1609 (12 june)

11. Kanji S., Devlin J.W., Pieko K.A., et al., Recombinant Human Activated Protein C, Drotrecogin Alfa (Activated): A Novel Therapy for Severe Sepsis[Pharmacotherapy 21(11):1389-1402, 2001. © 2001 Pharmacotherapy Publications, Inc.]

12. Edwards J. D, Shoemaker W C, Vincent  J-L., Oxygen Transport: Principles and Practice- Views and reviews, BMJ 1994;308:68 (1 January), W B Saunders.

13. Carr C.S., et al., Randomised trial of safety and efficacy of immediate postoperative enteral feeding in patients undergoing gastrointestinal resection, BMJ 1996;312:869-871 (6 April)
14. Silk D.B.A. and Gow N.M., Postoperative Starvation After Gastrointestinal Surgery. BMJ 2001;323:761-762.
15. Holgersen R.B., and Boesby S., Influence Of Postoperative Eneteral Nutrition On Postsurgical Infection, Gut, Vol 39, 833-835, 1996, BMJ Publishing Group.
16. Windsor A.C.J., et al., Compared with Parenteral Nutrition, Enteral Feeding attenuates The Acute Phase Respons and Improves Disease in acute Pancreatitis, GUT 1998;42:431-435
17. Lewis S.J.,  Egger M.,Sylvester P.A, Thomas S., Early enteral feeding versus "nil by mouth" after gastrointestinal surgery: systematic review and meta-analysis of controlled trials, BMJ 2001;323:773 ( 6 October )